REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkara seorang Muslimah melakukan perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri tanpa ditemani mahram menjadi diskusi yang menarik untuk dijabarkan. Lantas bagaimana Islam memosisikan hukum tentang hal ini?
Dalam buku Traveling tanpa Mahram karya Aini Aryani dijelaskan, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya perempuan berpergian tanpa ditemani mahram. Pendapat yang cukup bervariatif ini pun kira-kira terbagi menjadi tiga.
Pertama, ada ulama yang mengharamkan secara mutlak dan ada juga yang membolehkan bila ada syarat yang terpenuhi. Kedua, ada yang membolehkan tanpa mahram asalkan untuk mengerjakan ibadah haji yang wajib.
Dan ketiga, membebaskan status hukumnya boleh apa saja di antara tiga, yakni wajib, sunah, atau mubah. Yang tidak boleh hanyalah sebatas perjalanan yang haram.
Sedangkan berdasarkan pendapat ulama dari kalangan madzhab Maliki, seorang wanita wajib berangkat haji asalkan ditemani oleh para wanita atau laki-laki tepercaya. Atau campuran dari rombongan laki-laki dan perempuan. Sebab dalam pandangan madzhab ini, illat-nya bukan adanya mahram atau tidak, melainkan adalah masalah keamanan.
Adapun adanya suami atau mahram hanya salah satu cara untuk memastikan keamanan. Tetapi meski tanpa suami atau mahram, asalkan perjalanan itu dipastikan aman, bagi ulama dari kalangan madzhab ini sudah cukup syarat yang mewajibkan haji bagi para wanita.
Imam Malik sendiri berpendapat dalam kondisi aman dan terbebas dari fitbah, maka wanita boleh hukumnya berpergian tanpa mahram atau suami. Asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah (tepercaya). Yang disyaratkan adalah satu saja, yakni aman perjalanan dari fitnah.
Adapun pendapat ulama dari kalangan madzhab Syafii menyebutkan, asalkan seorang wanita pergi haji bersama rombongan wanita yang dipercaya (tsiqah), maka diperbolehkan baginya menunaikan ibadah haji. Syaratnya, para wanita itu bukan hanya satu orang melainkan beberapa wanita.
Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan wanita untuk bepergian tanpa mahram menurut ulama dari kalangan ini pada kasus haji saja yang menjadi wajib. Sedangkan haji yang sunah, yaitu haji yang kedua atau yang ketiga dan seterusnya tidak lagi diberikan keringanan. Apalagi untuk perjalanan selain haji.
Imam Al-Mawardi yang merupakan ulama dari kalangan Syafii menyebutkan, sebagian dari kalangan pendukung mazhab Syafii berpendapat bila perjalanan itu aman dan tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki-laki dengan perempuan, para wanita boleh perpergian tanpa mahram. Bahkan diperbolehkan bepergian bukan hanya tanpa mahram, melainkan juga boleh tanpa wanita yang tsiqah.
Namun, semua itu hanya berlaku untuk haji dan umroh yang sifatnya wajib. Sedangkan yang hukumnya sunah, hukum kebolehannya tidak berlaku. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari Kota Hirah ke Makkah dalam keadaan aman.
Selain itu, pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil para istri Nabi pun pergi haji pada masa Sayyidina Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.