Jumat 19 May 2023 16:56 WIB

Harga Pakan Naik 'Ugal-ugalan', Peternak Ayam Petelur Terbebani Biaya Produksi

Pemerintah diminta menekan pabrik untuk menurunkan harga pakan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Pekerja mengambil telur ayam negeri di Peternakan Ayam Petelur  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja mengambil telur ayam negeri di Peternakan Ayam Petelur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Feedmill (pabrik pakan) dinilai mestinya ikut bertanggung jawab di balik mahalnya harga telur ayam di pasaran. Pasalnya, pabrik pakan juga turut andil atas besarnya biaya operasional peternak.

Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah, Parjuni, mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab di balik mahalnya harga telur ayam yang saat ini masih terjadi di pasaran.

Selain produksi telur yang menurun akibat efek afkir induk ayam yang sudah tidak produktif dan faktor cuaca ekstrim, biaya produksi dari komponen pakan juga terus membebani para peternak.

“Dalam situasi seperti sekarang (harga telur ayam yang melambung), feedmill justru menaikkan harga pakan ugal-ugalan,” ungkapnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Jumat (19/5).

Parjuni mengungkapkan, pada Mei sampai Desember 2022 lalu, harga jagung turun dari Rp 6.000 menjadi Rp 4.000 per kilogram. Namun, pabrik pakan tidak mau menurunkan harga produksinya.

Pada saat harga jagung kembali naik di kisaran harga Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per kg (sekitar dua pekan lalu), pabrik langsung mengambil kesempatan untuk menaikkan harga pakan produksinya. Jadi, kompensasi harga pakan pada saat harga jagung turun sudah tidak ada. Begitu harga jagung kembali naik, pabrik justru ikut menaikkan harga pakan.

“Maka, saya bisa bilang, sebenarnya mereka juga punya andil besar dalam persoalan harga telur ini,” ujarnya.

Mengenai hal itu, lanjutnya, Pinsar Jateng sudah menyampaikan kepada Badan Pangan Nasional (Bapanas) agar pemerintah menekan pabrik hingga mau menurunkan harga pakan, bukan memaksa peternak untuk menurunkan harga telur ayam lebih dulu. Sebab, peternak memang menyesuaikan kondisi.

Namun, pabrik pakan yang sebenarnya menjual pakan selalu untung, sekarang harus mau mengalah dengan menurunkan harga pakannya. Dengan begitu, peternak juga bisa menurunkan harga telur produksinya ke angka yang normal, misalnya di kisaran Rp 24 ribu-Rp 25 ribu per kg.

Namun, jika peternak saat ini dipaksa menurunkan harga ke kisaran Rp 24 ribu-Rp 25 ribu per kg, peternak akan mengalami kerugian. “Maka saya tidak sependapat jika ayam dan telur disebut sebagai penyumbang inflasi karena faktanya penyumbang inflasi yang sebenarnya dari pabrik pakan dan saya punya datanya,” ujar Parjuni.

Ia menilai pabrik pakan mengambil untung semaunya sendiri dan tidak mau mengalah. Contohnya, saat harga jagung yang merupakan raw material yang 50 persen dipakai untuk bahan pakan budi daya turun, pabrik pakan tidak mau menurunkan harga produksinya.

Padahal, jika pabrik pakan mau mengalah 50 persen saja dari besaran margin penurunan harga jagung, dari Rp 6.000 menjadi Rp 4.000 per kg (Rp 1.000), sebenarnya sudah membantu peternak.

Dalam hal ini, Parjuni juga menyebut pemerintah tidak tegas. Kalau pemerintah berpikirnya khawatir nanti pabrik pakan tidak mendapatkan keuntungan, mestinya juga berpikir bahwa peternak bisa "habis" karena harga pakan mahal.

Pemerintah harusnya mempertimbangkan kepentingan semua rakyat. "Sebab, kalau pemerintah tidak tegas, yang dikorbankan siapa lagi kalau bukan masyarakat? Ibu-ibu sekarang membeli telur mahal,” ungkap dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement