REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas mengingatkan para pihak yang bekerja dalam bidang energi untuk mencermati dampak pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara terhadap ekonomi daerah.
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas,Vivi Yulaswati mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya alam batu bara dan pemerintah memperoleh pendapatan yang besar dari komoditas tersebut.
"Saat kita bicara mengenai pensiun dini PLTU tentunya kita harus memikirkan juga bagaimana pendapatan dari provinsi-provinsi dan kabupaten yang kaya sumber daya tambang terutama batu bara," ujarnya dalam diskusi terkait ambisi iklim Indonesia yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Vivi menuturkan bahwa kebijakan pensiun dini PLTU harus mempertimbangkan aspek ekonomi lantaran mengurangi pendapatan dari pemerintah daerah, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan di daerah-daerah penghasil batu-bara.
Bila kebijakan itu tidak dilakukan dengan hati-hati bisa mengurangi kualitas layanan dasar hingga sarana publik.
Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi Adil untuk mempersiapkan transisi pekerjaan dari yang berbasis batu-bara beralih ke energi bersih.
Skema pendanaan JETP terdiri atas 10 miliar dolar AS yang berasal dari pendanaan publik berupa pinjaman lunak dan hibah. Kemudian, 10 miliar dolar AS lainnya berasal dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, and Standard Chartered.
JETP akan dimanfaatkan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi di teknologi dan industri energi terbarukan. Skema pendanaan tersebut sebagai sinyal positif untuk mendorong percepatan transisi energi.