Ahad 21 May 2023 04:30 WIB

Jepang-Jerman Sepakat Dorong Perubahan Dewan Keamanan PBB

Jepang dan Brasil menyetujui reformasi di Dewan Keamanan PBB.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
File foto Kanselir Jerman Olaf Scholz (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berjabat tangan sebelum pertemuan puncak Jepang-Jerman di kediaman resmi perdana menteri di Tokyo, pada 18 Maret 2023.
Foto: David Mareuil/Pool Photo via AP
File foto Kanselir Jerman Olaf Scholz (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berjabat tangan sebelum pertemuan puncak Jepang-Jerman di kediaman resmi perdana menteri di Tokyo, pada 18 Maret 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, HIROSHIMA -- Jepang dan Jerman sepakat sudah waktunya membuat perubahan dalam beberapa lembaga paling kuat di dunia, termasuk Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Lembaga itu harus mengambil tindakan berbeda dalam urusan dengan negara-negara berkembang.

Menjangkau Global South yang meurjuk kepada beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah termasuk India telah menjadi fokus pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 tahun ini di Hiroshima, Jepang. Jepang dan Jerman selama bertahun-tahun telah mendorong reformasi DK PBB. Bersama dengan Brasil dan India, mereka mendesak untuk mendapatkan kursi permanen dalam lembaga tersebut.

Baca Juga

Upaya itu mendapat dorongan baru di G7 pada Sabtu (20/5/2023). Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva bertemu di sela-sela KTT dan setuju bekerja untuk reformasi di DK PBB sebagai anggota tidak tetap.

Sedangkan Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan organisasi internasional perlu berubah seperti dunia. "Setiap tatanan internasional yang berfungsi harus mencerminkan karakter multipolar dunia," katanya pada awal pekan ini di Berlin.

"Dunia uni- atau bipolar kemarin mungkin lebih mudah dibentuk--setidaknya untuk yang kuat. Namun, ini bukan lagi dunia tempat kita tinggal," ujar Scholz.

Inisiatif ini muncul saat Jepang dan anggota G7 lainnya mencoba melibatkan Global South. Upaya ini merupakan langkah negara-negara G7 berjuang untuk tetap relevan di tengah meningkatnya pengaruh Cina di negara berkembang.

Pengaruh ekonomi G7 juga menyusut. Menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi G7 menyumbang 29,9 persen dari PDB global pada 2023, turun dari 50,7 persen pada 1980.

Kishida mengatakan, peran negaranya adalah untuk menjembatani kesenjangan antara G7 dan Global South di bidang-bidang seperti ketahanan energi dan pangan. Tokyo mengumumkan program bantuan keamanan baru tahun ini, Bantuan Keamanan Luar Negeri.

Program tersebut akan menyediakan peralatan militer untuk membantu negara-negara berkembang meningkatkan keamanan. Menurut pejabat Tokyo, bantuan ini tujuan melawan tekanan Beijing.

Negara-negara demokrasi yang kaya di dunia memandang curiga pada jejak Cina di seluruh negara berkembang. Mereka khawatir tentang pengaruhnya atas rantai pasokan dan mineral kritis.

Bahkan, Menurut Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menuduh beberapa pinjaman Cina telah membuat negara-negara berkembang terperangkap dalam utang. Namun Cina yang telah meminjamkan ratusan miliar dolar untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang menyebut pernyataan itu tidak bertanggung jawab.

Beijing justru meminta Washington harus mengambil tindakan praktis untuk membantu negara-negara berkembang. “Sekutu G7 AS pasti memiliki banyak dendam, mengingat bagaimana Washington telah mengeksploitasi, atau menumpahkan darah mereka, selama bertahun-tahun," ujar laporan kantor berita milik pemerintah Cina Xinhua dalam editorial pada Jumat (19/5/2023).

Tapi, dalam pertemuan KTT G7 para pemimpin mengakui kerja sama dengan Cina diperlukan mengingat peran global dan ukuran ekonominya. Mereka mendesak kerja sama menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, utang, kebutuhan pembiayaan negara-negara yang rentan, masalah kesehatan global, dan stabilitas ekonomi.

Para anggota G7 berusaha melawan tuduhan sedang mencegah kebangkitan Cina sebagai kekuatan global. “Pendekatan kebijakan kami tidak dirancang untuk merugikan Cina dan kami juga tidak berusaha menggagalkan kemajuan dan pembangunan ekonomi Cina,” kata aliansi tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement