REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menilai penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastuktur pendukung 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kemenkominfo bisa mengembalikan kerugian negara yang begitu besar. Namun, hal itu bisa terwujud jika penyidik dari Kejaksaan Agung (Kejagung) harus bergerak lebih cepat.
“Cepat-cepatan di sini maksudnya bagaimana juga penyidik didorong untuk secepatnya mengadakan penyitaan barang-barang yang terkait dengan tindak pidana, diblokir asetnya, diblokir rekeningnya dan sebagainya,” ujar Hibnu Nugroho saat dihubungi, Selasa (23/5/2023).
Menurut Hibnu, saat hal yang paling penting dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi adalah seberapa besar penegak hukum dapat mengembalikan kerugian negara. Ditaksir, kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastuktur pendukung 2,3,4 dan 5 Bakti Kemenkominfo senilai Rp 8,32 triliun.
“Karena sekarang ini bahwa yang penting dalam pengungkapan perkara korupsi itu sudah bukan lagi orangnya, tapi sejauh mana penegak hukum bisa mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi itu,” kata Hibnu.
Dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kemenkominfo ini melibatkan sejumlah tersangka, di antaranya merupakan mantan menkominfo Johnny G Plate, Direktur Utama Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif (AAL), dan Galubang Menak (GMS) selaku direktur utama PT Mora Telematika Indonesia.
Lalu, Yohan Suryanto (YS) selaku tenaga ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia tahun 2020, Mukti Ali (MA) tersangka dari pihak PT Huawei Technology Investment, dan Irwan Hermawan (IH) selaku komisaris PT Solitchmedia Synergy. Kemudian satu tersangka yang baru saja ditetapkan, Selasa (23/5), yakni WP selaku orang kepercayaan dari tersangka Irwan Hermawan.