REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kodrat manusia salah satunya adalah jenis kelamin. Bagaimana pandangan Islam terkait hal tersebut?
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi mengatakan, pergantian jenis kelamin dalam pandangan para ulama tidak diperbolehkan karena itu mengubah apa yang diciptakan oleh Allah SWT.
"Bila ada seseorang yang sengaja melakukan tindakan mengubah jenis kelamin maka termasuk golongan yang dilaknat," kata Kiai Mahbub saat dihubungi Republika, baru-baru ini.
Dari Abdullah ibn Masud, ia berkata, "Allah SWT melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan yang meminta membuat tato, memendekkan rambut, serta yang berupaya merenggangkan gigi supaya kelihatan bagus, yang mengubah ciptaan Allah" (HR Bukhari).
Allah SWT berfirman dalam surah at-Tin ayat 4, "Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." Karena itu, bagaimanapun kondisinya, manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik menurut Allah SWT sehingga tidak dibolehkan mengubah ketetapan yang telah diciptakan Allah SWT.
Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menjelaskan, perubahan jenis kelamin secara sengaja merupakan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Perubahan itu telah melanggar ketetapan (kodrat) Allah SWT atas seseorang.
"La tabdila li kholqillah (tak ada perubahan dalam penciptaan Allah), artinya apa? Tidak boleh diubah-ubah atas ulah manusia. Jadi, kalau dia perempuan, meskipun sudah menjadi laki-laki tetap dianggap perempuan," kata Kiai Cholil.
Kodrat dalam tasawuf
Cendekiawan Islam Haidar Baghir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan menyebutkan, manusia merupakan makhluk yang berasal dari Allah. Dia mengutip pemikiran Sufi Jalaluddin Rumi yang menyebut bahwa manusia diibaratkan sebagai bilah-bilah bambu yang tercerabut dari rumpunnya.
Maksudnya, manusia berasal dari Allah dan kini terpisah dari-Nya. Kerinduan akan perpisahan tersebut diibaratkan Rumi dengan merdunya suara seruling bambu yang menyayat hati. Begitulah kiranya orang-orang yang mencintai Allah, rindu terus membuncah dan segera ingin kembali.
Kehidupan manusia, menurut dia, sesungguhnya adalah perjalanan mengenai pergi dan pulang. Dari suatu mabda’ (tempat berangkat) menuju suatu ma’ad (tempat kembali) yang tak lain dan tak bukan merupakan tempat berangkatnya manusia: Allah SWT.
Allah berfirman dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 156 berbunyi, “Alladzina idza ashabathum mushibatun qalu innalillahi wa inna ilahi rajiun.” Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: innalillahi wa inna ilahi rajiun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali).”
Lebih lanjut beliau membeberkan, dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh, yakni al-qaws al-nuzul (busur turun), yaitu dari Allah ke alam ciptaan, dan al-qaws al-su’ud (busur naik), yaitu dari alam ciptaan kembali kepada Allah.
Untuk itulah, kodrat manusia sesunggungnya adalah damai dan kasih sayang Allah. Kebahagiaan terletak pada kelancaran perjalanan pulangnya manusia ke pangkuan Allah SWT. Sebab, sebagaimana yang Rumi rasakan, keterpisahan manusia dari Allah adalah penderitaan dan kesengsaraan meski tak banyak di antara manusia umumnya yang menyadari hal ini.
Alkisah, terasinglah sebilah bambu dari rumpunnya. Dan kini bambu tersebut lahir sebagai wujud yang baru, yakni seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan, setiap kali seruling ditiup, ia dirundung duka yang tak berkesudahan meskipun alunan nada darinya membuat sejuk setiap pasang telinga yang mendengar.
Berbahagialah, kita lahir ke dunia atas karunia Allah. Bersedihlah hanya karena rindu pada Allah, tapi tetaplah bahagia di kala manusia menjalankan tugasnya di dunia.