REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari membantah tudingan Indonesia Corruption Watch (ICW) dkk bahwa KPU menyelundupkan pasal demi mempermudah eks koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024.
"Kalau ada yang menuduh penyelundupan pasal, ya saya kira lebih baik ngajak KPU diskusi dulu, duduk bersama, mana yang dijadikan dasar. Jadi kemudian tidak mudah melemparkan tuduhan ke publik," kata Hasyim kepada wartawan di Tangerang Selatan, Selasa (23/5/2023).
ICW dan sejumlah organisasi pemantau pemilu dan pemerhati hukum pada Senin (22/5/2023), menuding KPU RI menyelundupkan pasal yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK yang dimaksud adalah Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023.
Kedua putusan dengan amar serupa itu menyatakan bahwa eks narapidana, termasuk eks narapidana kasus korupsi, dengan ancaman lima tahun atau lebih baru boleh menjadi caleg setelah melewati masa tunggu 5 tahun sejak bebas murni. Substansi putusan tersebut sudah diadopsi oleh KPU RI dalam Peraturan KPU (PKPU).
Adapun Pasal yang dianggap selundupan adalah Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Lalu Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD.
Kedua pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa ketentuan masa tunggu 5 tahun tak berlaku bagi mantan narapidana yang mendapatkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
Simulasi terkait ketentuan pengecualian itu tertera dalam Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR RI dan DPRD.
Diumpamakan ada seorang mantan narapidana yang dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun. Si eks narapidana itu bebas murni pada 1 Januari 2020. Dia hanya perlu menjalani hukuman pencabutan hak politik selama 3 tahun atau hingga 1 Januari 2023, setelah itu sudah boleh menjadi bakal caleg. Dia tidak perlu mengikuti ketentuan masa tunggu 5 tahun sebagaimana amar putusan MK.
Menurut ICW dkk, ketentuan pengecualian itu bertentangan dengan amar putusan MK. Mereka pun menuduh KPU memberikan 'karpet merah' kepada eks koruptor. Sebab, banyak eks koruptor akan diuntungkan karena rata-rata narapidana kasus korupsi hanya dijatuhi sanksi pencabutan hak politik selama 3 tahun 5 bulan.
Ketua KPU RI Hasyim menjelaskan, pasal yang dianggap selundupan itu dibuat dengan berlandaskan pada bagian pertimbangan hukum pada putusan MK. Bagian pertimbangan itu menyatakan bahwa ketentuan masa tunggu lima tahun tidak berlaku bagi mantan narapidana yang mendapatkan hukuman pencabutan hak politik.
"Kalau kita cermati dalam putusan MK tersebut, itu MK ada pertimbangan, karena ada situasi kan orang juga selain kena pidana, di putusan yang sama juga kena sanksi dicabut hak politiknya untuk dicalonkan. Banyak perkara seperti itu," kata Hasyim.
Ketentuan pengecualian itu tertera pada bagian pertimbangan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 halaman 29. Selain punya landasan, lanjut Hasyim, pasal yang dianggap selundupan itu juga sudah melalui tahapan uji publik, konsultasi dengan pemerintah dan DPR, serta diharmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM.
"Maka kemudian kalau ada pihak-pihak yang menuduh KPU melakukan penyelundupan hukum, saya kira kita perlu diskusi lagi soal ini. KPU ini kan dalam merumuskan hati-hati, konsultasi sana-sini, berbagai macam pihak," ujar Hasyim.