REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres pada Selasa (23/5/2023) mengatakan, dunia gagal memenuhi komitmennya untuk melindungi warga sipil yang terjebak dalam konflik. Komite Palang Merah Internasional mengatakan, tak terhitung berapa banyak warga sipil yang terjebak dalam konflik.
Dari Ukraina dan Sudan hingga Sahel di Afrika dan Timur Tengah, warga sipil berupaya untuk menghindari rudal dan bahan peledak, serta mencari makanan dan obat-obatan dalam situasi kemanusiaan yang semakin memburuk. Guterres mengatakan, Dewan Keamanan harus mendesak negara-negara untuk menghormati aturan perang.
“Pemerintah yang memiliki pengaruh terhadap pihak yang bertikai harus terlibat dalam dialog politik dan melatih pasukan untuk melindungi warga sipil. Dan negara-negara yang mengekspor senjata harus menolak berbisnis dengan pihak mana pun yang gagal mematuhi hukum humaniter internasional," kata Guterres.
Laporan terbaru PBB tentang perlindungan warga sipil dalam konflik pada 2022 menunjukkan, lebih dari 100 konflik di seluruh dunia memiliki durasi rata-rata lebih dari 30 tahun. Tahun lalu, jumlah orang yang dipindahkan secara paksa mengalami peningkatan 53 persen. PBB mencatat kematian warga sipil menjadi hampir 17.000, termasuk hampir 8.000 di Ukraina.
Presiden Komite Palang Merah Internasional, Mirjana Spoljaric mengatakan, selama kunjungan baru-baru ini ke Afrika, Eropa dan Timur Tengah dia melihat situasi kemanusiaan memburuk dengan cepat. Seluruh wilayah terjebak dalam siklus konflik tanpa akhir.
Spoljaric mengatakan, banyak konflik diperparah oleh guncangan iklim, kerawanan pangan, dan kesulitan ekonomi. Dia mengeluarkan seruan mendesak kepada negara-negara untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur penting di daerah perkotaan. Hal ini merujuk pada kehancuran besar-besaran di Sudan, Suriah, Ukraina, dan Yaman. Dia juga mendesak agar makanan disediakan untuk semua warga sipil di daerah konflik dan dibukanya akses kepada pekerja kemanusiaan.
“Kita perlu mematahkan pola pelanggaran, dan ini bisa dilakukan melalui kemauan politik yang kuat dan tindakan yang berkelanjutan,” ujar Spoljaric.
Swiss, yang menjalani masa jabatan dua tahun pertamanya di Dewan Keamanan, memilih perlindungan warga sipil dalam konflik sebagai topik utama. Perwakilan dari lebih dari 80 negara dijadwalkan untuk berbicara. Presiden Swiss Alain Berset mengatakan, sebagai negara penyimpan Konvensi Jenewa dan rumah bagi ICRC yang berbasis di Jenewa, penghormatan terhadap hukum humaniter internasional merupakan prioritas sejak lama bagi negara tersebut.
Berset mengatakan, jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut naik menjadi 258 juta tahun lalu. "Jumlah ini 30 kali populasi Kota New York. Lebih dari dua pertiga dari mereka tinggal di zona konflik, termasuk di Kongo, Sudan, Sahel, Somalia, Myanmar dan Afghanistan, atau di negara-negara di mana kekerasan meluas seperti Haiti," kata Berset.
Berset mendesak semua negara untuk menerapkan resolusi Dewan Keamanan 2018 yang menentang penggunaan kelaparan sebagai metode perang, dan secara tidak sah menolak akses kemanusiaan dan persediaan penyelamat hidup bagi warga sipil. Dia juga mendesak semua negara merujuk pada resolusi 2021 yang mengutuk serangan tidak sah dengan merampas layanan penting warga sipil.
Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield mengatakan, peningkatan kematian warga sipil menunjukkan jumlah korban jiwa akibat perang. Dia juga menuduh Rusia mendorong jutaan orang di Afrika dan Timur Tengah ke dalam kerawanan pangan dengan menggunakan makanan sebagai senjata perang di Ukraina, termasuk memblokir pengiriman biji-bijian Ukraina selama berbulan-bulan.
Thomas-Greenfield mengatakan, perjanjian yang mengizinkan pengiriman biji-bijian Ukraina dari pelabuhan Laut Hitam, yang diperpanjang selama dua bulan pada 17 Mei, adalah mercusuar harapan bagi dunia. Sementara Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia mengklaim, pengiriman amonia sebagai bahan utama pupuk yang seharusnya menjadi bagian dari kesepakatan biji-bijian pada Juli 2022 bahkan belum dimulai. Sementara jumlah biji-bijian yang dikirim ke negara berkembang berdasarkan kesepakatan Laut Hitam, masih sedikit.