REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Perkembangan inovasi AI generatif seperti ChatGPT telah menggemparkan dunia. AI generatif adalah jenis kecerdasan buatan yang dapat membuat berbagai macam data, seperti gambar, video, audio, teks, dan model tiga dimensi.
Berbagai inovasi mencengangkan terus dikabarkan, tetapi satu pertanyaan yang jarang muncul: siapa yang mampu membelinya? Ini karena teknologi AI membutuhkan biaya yang sangat besar. Dikutip dari laman Japan Today, Rabu (24/5/2023), tahun lalu OpenAI menghabiskan sekitar 540 juta dolar AS (Rp 8,04 triliun) saat mengembangkan ChatGPT.
Perusahaan juga mengatakan butuh 100 miliar dolar AS (Rp 1,49 kuadraliun) untuk memenuhi ambisinya. "Kami akan menjadi startup paling padat modal dalam sejarah Silicon Valley," kata pendiri OpenAI, Sam Altman kepada sebuah panel baru-baru ini.
Ketika Microsoft menggelontorkan investasi miliaran dolar ke OpenAI, ada pertanyaan tentang berapa biaya untuk pengembangan AI. Namun, Microsoft hanya menjawab bahwa mereka menjamin untuk mengawasi keuntungan dari suntikan modal itu.
Untuk membangun sesuatu seperti apa yang ditawarkan OpenAI, membutuhkan investasi besar. Analis independen Jack Gold mengatakan proses tersebut membutuhkan kekuatan pemrosesan yang sangat besar dan dapat menelan biaya puluhan juta dolar AS.
"Berapa banyak perusahaan yang benar-benar mampu membeli 10.000 sistem Nvidia H100 dengan harga puluhan ribu dolar per buah?" ujar Gold dalam pertanyaan retorik. Jawabannya, hampir tidak ada.
Sementara, di ranah teknologi, jika perusahaan tidak dapat membangun infrastruktur, maka dia harus menyewanya. Itulah yang sudah dilakukan sejumlah perusahaan secara besar-besaran dengan mengalihkan kebutuhan komputasi ke Microsoft, Google, atau AWS Amazon.
Dengan munculnya AI generatif, ketergantungan pada komputasi awan dan raksasa teknologi tersebut semakin dalam. Itu disampaikan Chief Product Officer di Software AG, Stefan Sigg, yang mengembangkan perangkat lunak untuk bisnis. "Biaya komputasi awan yang tidak dapat diprediksi adalah masalah yang masih diremehkan banyak perusahaan," ungkap Sigg.
Dia membandingkan biaya cloud atau komputasi awan dengan tagihan listrik. Perusahaan bisa saja mendapat "kejutan besar" jika membiarkan teknisi menghabiskan tagihan dengan terburu-buru untuk membangun teknologi, termasuk AI.
Menumpuk keuntungan di perusahaan besar hanya berarti membebankan biaya AI kepada pelanggan. Ketergantungan pada AI diprediksi akan menjadi mahal. Itu membuat perusahaan serta investor mencari alternatif untuk setidaknya mengurangi tagihan.
"Pelatihan AI dan pelatihan GPT akan menjadi hal penting untuk layanan cloud ke depannya," kata CEO Spectro Cloud, Tenry Fu. Perusahaannya, seperti banyak perusahaan lain di sektor ini, membantu perusahaan mengoptimalkan teknologi cloud untuk mengurangi biaya.
Berkat pelatihan, sebuah perusahaan akan bisa mendapatkan model untuk aplikasi AI nyata, sehingga ketergantungan pada perusahaan raksasa cloud diharapkan akan berkurang. Pemangku kepentingan pun diharapkan tetap melakukan pengawasan. Dengan begitu, bisa dipastikan peluang untuk persaingan sehat pengembangan AI tetap ada.