REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surah Al-Kahfi atau surah ke 18 Al-Qur’an menjadi salah satu surah yang Istimewa dan populer. Surah ini memiliki keutamaan-keutamaan yang luar biasa sehingga disunnahkan untuk dibaca setiap hari Jumat oleh baginda Rasulullah SAW.
Lebih jauh dari itu Surah Al-Kahf mengandung hikmah-hikmah kehidupan yang luar biasa. Surah yang diyakini padanya terletak “pusar” Al-Qur’an dengan kalimat “وليتلطف" itu mengandung semua arahan kehidupan, dari perihal akidah, ubudiyah, mu’amalat, tatakrama (etika) hingga ke sejarah. Semua itu tentunya mengantar kepada informasi tentang kehidupan ukhrawi pasca kehidupan sementara ini.
Imam Masjid New York menjelaskan satu hikmah terbesar yang kita ambil sebagai kesimpulan dari Surah Al-Kahf adalah ragam bentuk ujian atau cobaan (fitnah) dalam kehidupan manusia. Ujian atau fitnah yang dapat menimpa insan-insan yang beriman dan bergelar Mukmin atau Muslim itu. Gelar keimanan dan keislaman bukan imunitas dari ujian dan cobaan itu. Iman dan Islam adalah petunjuk untuk menghadapi ujian dan cobaan itu.
Ada empat bentuk fitnah yang tersarikan dari empat kisah populer. Yaitu kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua), kisah nabi Musa dan Al-Khidr, kisah pemilik kebun yang subur, dan kisah Dzulqarnain. Setiap kisah ini menggambarkan atau mewakili bentuk tertentu dari fitnah yang mengancam manusia.
Kisah pertama yang disebutkan di surah ini adalah kisah Ashabul Kahf. Nama surah ini sendiri diambil dari kata yang terletak di salah satu ayat pada kisah ini: اذ اوي الي الكهف (ketika mereka bersembunyi di gua itu).
Singkatnya kisah ini adalah kisah sekelompok anak muda yang hidup di sebuah Zaman, yang konon kabarnya diperintah oleh seorang raja yang zhalim. Ada perbedaan pendapat tentang sama itu. Tapi pada galinnya ahli tafsir sepakat jika peristiwa itu terjadi di masa-masa Bani Israel Setelah Musa AS.
Kezholiman terbesar dan terburuk dari sang raja adalah permusuhannya kepada agama. Bahkan keangkuhannya itu memaksa rakyatnya terjatuh ke dalam berbagai kesyirikan dan imoralitas.
Mereka yang menentang mengikutinya dibumi hanguskan. Dan tidak sedikit pula yang terjatuh dalam pelukan kejahatan sang raja itu.
"Realita bahkan dibolak balik sesuai keinginan sang raja, yang baik dan positif dianggap buruk dan negatif, yang buruk dan negatif dianggap baik dan positif,"ujar dia.
Dalam situasi yang krusial seperti itulah sekelompok anak muda bangkit, penuh keistiqamahan dalam iman. Mereka berusaha dengan segala daya yang ada untuk menyelamatkan iman masyarakat sekitarnya. Hal terakhir yang mereka lakukan adalah mencari tempat yang aman dari kemungkinan terjatuh ke dalam kejahatan itu. Mereka pun masuk ke dalam sebuah gua (al-Kahf) dan Allah tidurkan mereka selama 309 tahun.
Di penghujung tahun ke 309 Allah menentukan sebagai tahun kembalinya kehidupan yang fitrah. Sang raja atau raja-raja yang jahat semua telah berlalu (wafat). Terjadi pergantian situasi. Dan dengan izin Allah kembali hadir kehidupan yang alami sesuatu dengan fitrah manusia yang Allah telah gariskan. Singkat cerita, sekelompok pemuda itu dibangkitkan dari tidur panjang mereka untuk melihat hasil keistiqamahan mereka dalam kebenaran.
Bahwa betapa iman dan Islam itu akan mengalami tantangan yang luar biasa, yang sesungguhnya bukan hal asing. Karena Al qur’an sendiri telah menggariskan dengan tegas: “Apakah manusia dibiarkan mengaku beriman tanpa mereka diuji? Sungguh Kami (Allah) telah menguji mereka yang telah lalu untuk Allah ketahui siapa yang sungguh-sungguh (dalam keimanan) dan siapa yang berbohong”.
Jika kisah ini kita kontekstualkan dengan masa kini, sesungguhnya akan didapati bahwa fitnah (ujian) keimanan dan keislaman masa kini jauh lebih parah ketimbang di masa Ashabul Kahf itu. Alasannya sederhana, jika di masa lalu yang menjadi ujian (tantangan) iman adalah seorang raja, kini justru bukan lagi orang per orang. Tapi ujian itu justru ada pada setiap lini kehidupan kita.
Logikanya sederhana, sistem kehidupan yang tengah mendominasi dunia adalah sistem yang sedang tidak bersahabat dengan nilai-nilai keimanan dan keislaman kita. Hampir di semua lini kehidupan terkontrol oleh sistem yang acuannya antitesis dengan nilai iman dan Islam.
Satu contoh yang paling terasa saat ini sebagai misal adalah konsep keluarga. Bahkan konsep gender yang sangat destruktif terhadap nilai yang Islam ajarkan. Bahwa dalam Islam hanya ada dua jenis kelamin manusia. Yaitu Adam (pria) dan Hawa (wanita). Di sekiranya pun ada deviasi dari bentuk atau jenis kelamin yang alami itu maka dianggap pengeculian yang Islam sejak zaman dahulu memberikan solusi alternatifnya.
Yang menjadi masalah adalah ketika konsep deviasi itu dibangun seolah bagian dari mainstream. Bahkan mendapat pembelaan yang extraordinary. Jangankan menentang. Tidak membela saja (mungkin netral) dianggap melanggar HAM dan nilai yang positif.
Pemaksaan pandangan tentang gender ini berimbas kepada banyak aspek lain dari kehidupan manusia. Selain mendekonstruksi konsep keluarga (laki-pria) juga berimbas kepada pandangan keagamaan. Maka Tuhan pun diposisikan pada posisi yang membingungkan. Tuhan sebagai m (pihak ketiga tidak lagi disebut “HE”. Tapi Juga enggan dengan penyebutan “SHE”. Sebagai bentuk kompromi Tuhan disebut dalam bentuk “third party” sebagai “THEY”.
Intinya fitnah dalam beragama yang dihadapi oleh Ashabul Kahf ketika itu terulang, bahkan dalam bentuk yang lebih kejam. Kini iman dan Islam anda terancam, bukan karena seorang penguasa lagi. Tapi karena sistem kehidupan di semua ruang dan waktu. Sistem ekonomi, politik, sosial budaya, dan seterusnya, semuanya boleh jadi ancaman bagi kelestarian iman dan Islam kita.