REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perubahan iklim berdampak pada sistem air Hindu Kush-Himalaya yang penting, sehingga menimbulkan risiko bagi pembangunan ekonomi dan keamanan energi di 16 negara Asia. Para ahli pada Rabu (24/5/2023) menyerukan tindakan bersama untuk melindungi aliran air regional.
Cekungan dari 10 sungai besar yang mengalir dari menara air Hindu Kush-Himalaya adalah rumah bagi 1,9 triliun orang dan menghasilkan 4,3 triliun dolar AS dalam PDB tahunan. Lembaga think tank, China Water Risk mengatakan, dampak perubahan iklim seperti pencairan gletser dan cuaca ekstrem sudah menimbulkan ancaman serius.
"Semua sungai akan menghadapi risiko yang meningkat dan bertambah, jika kita tidak dapat mengendalikan emisi, dan pembangunan lebih lanjut infrastruktur energi intensif air akan memperparah masalah," ujar para penelitian dalam laporan China Water Risk.
Ke-10 sungai itu termasuk Gangga dan Brahmaputra yang mengalir ke India dan Bangladesh, kemudian Sungai Yangtze dan Kuning di Cina, serta saluran air lintas batas seperti Mekong dan Salween. Mereka mendukung hampir tiga perempat tenaga air dan 44 persen tenaga batu bara di 16 negara, termasuk Afghanistan, Nepal, dan Asia Tenggara.
Kapasitas listrik sebesar 865 gigawatt (GW) di sepanjang 10 sungai dianggap rentan terhadap risiko iklim, yang sebagian besar bergantung pada air. Lebih dari 300 GW terletak di daerah yang menghadapi risiko tinggi atau sangat tinggi.
Cekungan sungai Yangtze Cina, yang menyokong sekitar sepertiga dari populasi negara itu dan sekitar 15 persepsi dari kapasitas listriknya, mengalami rekor kekeringan panjang tahun lalu. Anjloknya produksi hidroelektrik telah mengganggu rantai pasokan global.
Sejak kekeringan, pemerintah menyetujui pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk mengatasi gangguan pembangkit listrik tenaga air di masa depan. Namun, tenaga batu bara juga membutuhkan air dan lonjakan kapasitas di Cina dan India dapat semakin memperparah kekurangan. Para peneliti mengatakan, saat risiko iklim meningkat, negara-negara berada di bawah tekanan untuk menyusun kebijakan yang memastikan kesesuaian keamanan energi dan air.
"Karena pilihan daya dapat memengaruhi air dan kekurangan air dapat merusak aset daya, keamanan air harus menentukan keamanan energi," kata para peneliti.