REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin mengatakan bahwa hubungan bilateral antara Moskow dan Beijing saat ini semakin erat bahkan berada pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam pembicaraan dengan PM China Li Qiang, Rabu (24/5/2023), Mishustin mendesak Beijing untuk bekerja sama menghadapi berbagai tantangan yang ditimbulkan akibat sanksi Barat terhadap Rusia atas perang di Ukraina.
Pertemuan Mishustin dan Li dilakukan setelah Kelompok Tujuh Negara Maju (G7) mengeluarkan peringatan keras terhadap Cina dan Rusia pada KTT di Hiroshima pekan lalu. Kedua perdana menteri itu telah mengatur penandatanganan nota kesepahaman (MoU) termasuk dalam upaya mempromosikan kerja sama perdagangan.
Mishustin mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi Moskow dan Beijing berkaitan erat dengan peningkatan pergolakan di kancah global internasional dan tekanan kolektif Barat.
Li mencatat bahwa kolaborasi yang bermanfaat antara Cina dan Rusia telah menunjukkan perkembangan yang baik. Dia juga menyatakan keinginan Beijing untuk bekerja dengan Moskow dalam memperluas area kerja sama di berbagai bidang.
Pada Desember 2022, negara-negara Barat menetapkan batasan harga pada minyak mentah Rusia untuk menekan sumber pendapatan utama Moskow sebagai hukuman atas perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Namun, Cina menentang sanksi tersebut dan terus membeli energi dari negara tetangganya itu.
Setelah pertemuannya dengan Li, PM Rusia selanjutnya dijadwalkan bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping. Ketika Xi melakukan lawatan ke Moskow pada Maret lalu untuk berbicara dengan rekannya, Vladimir Putin, dia meminta agar dilakukan pertemuan rutin antara PM Cina dan PM Rusia.
Sebelumnya, Mishustin, yang untuk pertama kali mengunjungi Cina sejak menjabat pada 2020, dalam Forum Bisnis Cina-Rusia di Shanghai, bertekad akan memperkuat hubungan ekonomi kedua negara. Sementara itu, Li meminta agar lebih banyak pertukaran ekonomi dan perdagangan bilateral yang dilakukan antara Moskow dan Beijing, menurut sejumlah laporan media Cina dan Rusia.