REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) memeriksa inisial IWL seorang pengusaha dari perusahaan swasta perdagangan logam mulia dan emas, Rabu (24/5/2023). Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa IWL terkait lanjutan pengungkapan dugaan korupsi pengelolaan komoditas emas.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana mengatakan, IWL adalah saksi tunggal yang diperiksa hari ini. “Saksi IWL diperiksa selaku Direktur PT Royal Raffles Capital,” kata Ketut dalam siaran pers Rabu (24/5/2023).
IWL dengan perusahaannya PT Royal Raffles Capital, bukan satu-satunya pihak swasta terkait komoditas logam mulia dan emas, yang diperiksa terkait kasus ini. Sejak penyidikan kasus ini terbuka, pada 10 Mei 2023, sampai saat ini, pihak Jampidsus-Kejakgung sudah memeriksa empat pihak perusahaan logam mulia dan emas.
Beberapa di antaranya, adalah memeriksa para pegawai tinggi di PT Indah Golden Signature (IGS), dan di PT Untung Bersama Sejahtera (UBS) Gold. Bahkan penyidik di Jampidsus, sudah melakukan penggeledahan terhadap dua perusahaan yang berbasis di Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim) tersebut.
Baru-baru ini, tim penyidik juga memeriksa pegawai tinggi di perusahaan ekspor-impor emas PT Suka Jadi Logam. Tim penyidik, pun sudah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat penyelenggara negara di Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Jampidsus Febrie Adriansyah menerangkan penyidikan korupsi pada komoditas emas ini, terkait dengan kegiatan ekspor-impor komoditas logam mulia dan emas. “Konstruksi kasus ini, terkait dengan kegiatan ekspor-impor emas. Dari ekspor-impor itu oleh penyidik saat ini sedang didalami terkait dengan proses keluar-masuknya barang (emas), dan keabsahannya secara hukum,” kata Febrie kepada Republika, Selasa (23/5/2023).
“Dalam kegiatan ekspor-impor emas itu, ada kepentingan hak-hak negara disitu yang dirugikan. Terutama terkait dengan bea masuk (tarif pajak) dan lain-lainnya,” sambung Febrie.
Febrie menerangkan, di Jampidsus, penyelidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan emas ini sebetulnya sudah dilakukan sejak 2021. Akan tetapi baru meningkat ke penyidikan pada 10 Mei 2023 setelah para jaksa penyidik meyakini adanya alat bukti atas perbuatan pidana dalam proses ekspor-impor komoditas logam mulia tersebut.
“Jadi ini kita naik sidik (penyidikan) kasus ini, karena memang kita sudah punya alat bukti permulaan yang cukup bahwa ada perbuatan yang melawan hukum dalam proses pengelolaan emas ini. Dan itu kita melihat ada hak-hak negara yang dirugikan di dalam prosesnya,” jelas Febrie.
Febrie belum bersedia membeberkan berapa potensi kerugian negara terkait kasus tersebut. Akan tetapi, pada 14 Juni 2021 saat rapat kerja Komisi III DPR bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin terungkap, potensi kerugian negara dari manipulasi bea ekspor-impor emas tersebut mencapai Rp 47,1 triliun.
Pada April 2023, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga mengungkapkan, adanya aliran Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp 189 triliun di Dirjen Bea Cukai terkait dengan ekspor-impor emas batangan. Nilai tersebut, terungkap bagian dari Rp 349 triliun dugaan TPPU yang terjadi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun Febrie menerangkan, kasus dugaan TPPU senilai Rp 189 triliun yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD di Komisi III hanya berbeda jangka waktu peristiwa pidananya, dari kasus yang penyelidikannya dilakukan tim di Jampidsus sejak 2021 tersebut. Akan tetapi, dikatakan dia, kasus itu saling beririsan.
“Sampai saat ini, dugaan yang disampaikan oleh Pak Menko (Mahfud MD) itu, tempus-nya berbeda. Di kita itu 2010-2022 dan di sana, itu sejak tahun 2000-an dan itu lebih jauh tempus-nya,” ujar Febrie menambahkan.