REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pileg 2024 dimeriahkan wajah-wajah populer dari kalangan artis yang banyak mendaftar sebagai caleg. Namun, kepopuleran mereka sebagai artis masih belum menjamin mereka akan mampu memasuki Senayan.
Pengamat politik Usep S Ahyar mengatakan, partai politik memang punya tanggung jawab besar dalam merekrut caleg-caleg. Prosesnya terbilang cukup panjang dimulai dari sertifikasi, nominasi sampai pemilihan.
Maka itu, ia menekankan, parpol sebenarnya tidak bisa sembarangan dalam menentukan caleg-caleg. Bahkan, dalam undang-undang ada prinsip rekrutmen yang harus dilaksanakan secara terbuka dan demokratis.
Artinya, semua proses itu bisa dikontrol publik dan dilakukan secara profesional, termasuk kepada artis. Sayangnya, caleg-caleg yang mampu menembus Senayan dalam beberapa periode pemilu jumlahnya sangat kecil. "Karena tidak ada korelasi signifikan popularitas dan elektabilitas," kata Usep, Rabu (24/5).
Ia menilai popularitas memang bisa menjadi modal seorang caleg itu dikenal publik. Tapi, modal popularitas itu harus bisa dikonversi menjadi elektabilitas agar tidak cuma dikenal, tapi mampu dipilih.
Usep menerangkan, kegagalan dalam mengonversi popularitas menjadi elektabilitas bisa dilihat dari setiap pelaksanaan pemilu. Selama ini, mereka yang lolos masih didominasi politisi, pebisnis, atau pengusaha.
"Banyaknya itu ya memang politisi dan pengusaha, 37 persen. Sekarang hampir setengah (senator) merupakan pengusaha," ujar Usep.
Peneliti Populi Center ini sepakat bahwa membuka kesempatan yang sama kepada semua kalangan memang bagus. Tapi, publik tentu akan melihat kapasitas caleg tersebut mengingat tugas legislatif yang sangat berat.
"Dilihat dari tugas legislatif, yang perlu diperhatikan kapasitas artis itu, seberapa kapasitas mereka yang diutamakan dalam konteks rekrutmen," kata Usep.