REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menegaskan bahwa negaranya akan terus menolak seruan untuk meninggalkan kebijakan luar negerinya yang independen dan non-blok. "Afrika Selatan belum dan tidak akan terseret ke dalam kontes antara kekuatan global. Kami akan mempertahankan posisi kami pada penyelesaian konflik secara damai di mana pun konflik itu terjadi," kata Ramaphosa dalam pidato Hari Afrika di Krugersdorp barat, Johannesburg.
Pekan lalu, Ramaphosa mengatakan, posisi non-blok negaranya tidak mendukung Rusia dari pada negara lain dan tidak akan ditekan untuk mengubah pendiriannya. "Dengan pecahnya konflik Ukraina-Rusia, ada tekanan luar biasa pada negara untuk meninggalkan posisi non-blok dan memihak dalam kontes antara Rusia dan Barat," tulis Ramaphosa dalam kolom mingguan pekan lalu.
Pernyataan Presiden Afrika Selatan tersebut muncul setelah Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Afrika Selatan, Reuben Brigety, mengatakan pada wartawan bahwa Washington yakin Afrika Selatan telah memasok senjata kepada tentara Rusia, meski negara tersebut mengklaim netral. Brigety mengklaim bahwa kapal kargo Rusia, Lady R, yang berlabuh di pangkalan angkatan laut Simon's Town di dekat Cape Town antara 6 Desember dan 8 Desember tahun lalu, telah memuat senjata dan amunisi dan kembali ke Rusia.
Ramaphosa mengatakan, karena tidak ada bukti nyata untuk mendukung tuduhan tersebut, pemerintah membentuk penyelidikan independen yang dipimpin oleh pensiunan hakim untuk menentukan fakta. Dubes AS kemudian meminta maaf kepada pemerintah dan warga Afrika Selatan untuk komentarnya, menurut sebuah pernyataan oleh Departemen Hubungan dan Kerja Sama Internasional Afrika Selatan.
"Kita sekarang juga menyaksikan Afrika terseret ke dalam konflik yang jauh melampaui perbatasan kita sendiri," ujar Ramaphosa dalam pidatonya.
"Beberapa negara, termasuk negara kita, diancam dengan hukuman karena mengejar kebijakan luar negeri yang independen dan posisi non-blok," tambahnya.
Namun, ia tidak merinci hukuman atau siapa yang mengancam mereka. Ramaphosa mengatakan bahwa negara-negara Afrika memiliki kenangan menyakitkan tentang negara adidaya asing yang melakukan perang proksi di tanah Afrika.
"Kami belum melupakan warisan brutal dan mengerikan dari pertama kali benua kami diukir dan dijajah oleh negara-negara Eropa, hanya untuk menemukan diri kami sekali lagi menjadi pion di papan catur selama Perang Dingin," katanya,
"Kami tidak akan kembali ke dalam periode tersebut dalam sejarah," tambahnya.