REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Anggota Dewan Energi Nasional Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019, Tumiran, menyampaikan sejumlah catatannya terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) yang tengah dibahas oleh DPR RI. Menurutnya percepatan EBT jangan malah menjadi pasar EBT dari negara lain yang menyedot devisa dalam negeri.
"Jadi transisi energi itu harus betul-betul menjadi penggerak ekonomi di sektor energi baru, itu yang paling penting," kata Tumiran disela-sela Seminar Nasional BEM KM UGM, di Hotel UC, UGM, Jumat (26/5/2023).
Selain itu ia menilai RUU EBT seharusnya mempercepat percepatan pemanfaatan EBT. Semangat yang diharapkan dalam pembentukan RUU tersebut yakni perlunya kemandirian bangsa di dalam pengembangan secara teknologi, investasi, dan menciptakan lapangan kerja.
"Harus ada key, key bahwa itu harus memperkuat ketahanan energi nasional, menciptakan lapangan kerja, penguasaan teknologi, kemandirian industrinya harus muncul," katanya.
Terkait skema power wheeling, Tumiran hal tersebut hanyalah skema bisnis baru. Kalau power wheeling diterapkan maka harus membangun industri secara sektor menjadi sehat terintegrasi dan sehat tidak menjadi beban satu sama lain.
"Saling support menggerakkan sektor finansial dan sektor riil kita tumbuh, jadi jangan sampai ada power wheeling menjadi beban bagi perusahaan PLN misalnya. Kalau PLN jadi beban ya bebannya pada negara" ungkapnya.
Sementara itu pengamat kebijakan publik, Sofie Wasiat, meminta agar pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun RUU EBT. Menurut dia pelibatan swasta dalam membangun energi baru perlu dikaji mendalam.
"Kita tidak melihat kemampuan dari dalam negeri kita, anak bangsa kita sebenarnya mampu," kata dia.
Diketahui Rapat Paripurna DPR RI ke-25 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Inisiatif Komisi VII DPR RI tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) menjadi RUU usulan DPR RI. Kementerian ESDM menargetkan RUU ini disahkan pada September mendatang.