Ahad 28 May 2023 15:16 WIB

Setelah 20 Tahun, Erdogan Berpotensi Perpanjang Masa Kekuasaan

Kritikus Erdogan mengatakan kemenangan akan membuat Erdogan semakin otoriter.

Rep: Lintar Satria/ Red: Fernan Rahadi
 Kandidat Presiden Turki dan Aliansi Rakyat Recep Tayyip Erdogan, melambaikan tangan kepada para pendukungnya saat kampanye pemilu di Istanbul, Turki, Senin (22/5/2023).
Foto: AP Photo/Khalil Hamra
Kandidat Presiden Turki dan Aliansi Rakyat Recep Tayyip Erdogan, melambaikan tangan kepada para pendukungnya saat kampanye pemilu di Istanbul, Turki, Senin (22/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Masyarakat Turki kembali ke tempat pemungutan suara dalam salah satu pemilihan umum paling penting di dunia tahun ini. Presiden Tayyip Erdogan berpotensi kembali berkuasa setelah 20 tahun memimpin Turki.

Ia menghadapi Kemal Kılıçdaroğlu, ketua koalisi oposisi yang gagal memenuhi prediksi di putaran pertama pada 14 Mei lalu. Erdogan yang pertama kali berkuasa sebagai perdana menteri tahun 2003 lalu unggul di putaran pertama dalam pemilihan memicu polarisasi tajam di Turki.

Upayanya mempertahankan kekuasaan dibayang-bayangi gempa bumi di Turki dan Suriah yang menewaskan 50 ribu orang pada Februari lalu.

"Posisi Erdogan sebagai pejawat memberinya keuntungan untuk unggul di putaran pertama dan keuntungan ini akan membantunya di garis terakhir," kata Direktur Program Penelitian Turki di Washington Institute for Near East Policy, Soner Çağaptay, kepada Politico, Ahad (28/5/2023).

Tema utaman pemilihan ini adalah masalah ekonomi yang disebabkan kebijakan non-ortodoks Erdogan yang memicu inflasi tinggi dan merosotnya mata uang. Kritikus Erdogan juga mengatakan, ia merusak demokrasi dan kemenangannya akan membuatnya semakin otoriter.

Erdogan memenangkan putaran pertama dengan 49,5 persen atau 27 juta suara, sekitar 2,5 juta suara lebih banyak dari lawannya. Koalisi berkuasa yang dipimpin partai Erdogan, AK, juga menguasai parlemen.

Seusai putaran pertama Kılıçdaroğlu yang mendapatkan 45 persen suara beralih ke sayap nasionalis, termasuk membuat kesepakatan dengan politisi sayap kanan Ketua Partai Kemenangan Ümit Özdağ. Ketua oposisi itu berjanji mendeportasi jutaan pengungsi Suriah dan Afghanistan dari Turki.

Namun, Kılıçdaroğlu gagal mendapat dukungan dari kandidat utama sayap nasionalis, Sinan Ogan, yang berada di peringkat ketiga di putaran pertama. Ogan memilih mendukung Erdogan.

Meski Kılıçdaroğlu mendekati sayap nasionalis, politisi Kurdi yang dipenjara Selahattin Demirtaş mengajak pemilihan mendukung Kılıçdaroğlu di putaran kedua.

"Bila tidak ada perubahan di kotak suara, akan menjadi bencana pada ekonomi dan demokrasi, tidak ada lagi putaran ketiga dalam masalah ini. Mari jadikan Pak Kılıçdaroğlu sebagai presiden, biarkan Turki bernapas," cicit Demirtaş.

Sejumlah pengamat mengatakan, hasil putaran pertama mencerminkan kuatnya Erdogan dalam menarik suara populis dan Islam, terutama di pendesaan Turki yang masih sangat loyal pada Partai AK. Berbeda dari kota-kota besar yang sudah berpaling dari Erdogan yang lama berkuasa.

Kritikus khawatirkan bila Erdogan kembali berkuasa hubungan Turki dan Barat akan semakin melemah. Begitu juga dengan pers, lembaga yudisial, dan institusi-institusi lain.

Çağaptay mengatakan, Erdogan dibantu "pada penguasaan penuhnya terhadap arus informasi" di Turki. Sebagian besar media dikuasai kelompok bisnis yang dengan dengan presiden dan 80 persen orang Turki hanya membaca berita bahasa mereka sendiri.

"Ia dapat 'mengurasi' realitas bagi mereka, ia dapat membingkai sejumlah oposisi 'didukung' teroris, dan saya pikir bagian itulah pemilihan mengalami kebuntuan, mereka tidak pernah mendapat poin siapa yang lebih baik menjalankan pemerintahan di Turki," kata Çağaptay. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement