REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan membentuk bursa komoditi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Rencananya, bursa CPO tersebut bakal diluncurkan Juni 2023.
Namun, ternyata rencana pembentukan bursa CPO tersebut tak melibatkan Komisi VI DPR sebagai mitra Kemendag. “Belum ada pembahasan di Komisi VI,” kata Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi dalam keterangannya pada Ahad (29/5/2023).
Menurut dia, sebagai mitra pemerintah di bidang perdagangan dan industri, Komisi VI DPR hendaknya perlu diajak untuk membahas pembentukan bursa CPO ini. Karena, kata pria yang akrab disapa Awiek ini, Komisi VI DPR perlu melihat secara detil skema, maksud dan tujuan pembentukan bursa tersebut.
“Kami perlu melihat secara detail skema yang ingin dilakukan seperti apa, maksud dan tujuannya,” kata Awiek yang mantan jurnalis ini.
Menurut Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, perlunya pembahasan bersama Dewan agar kebijakan yang diputuskan tidak membenani petani sawit. “Segala kebijakan pemerintah itu tidak boleh membebankan ke petani sawit,” ujar politikus kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini.
Bahkan, kata Awiek, Kemendag harus melakukan kajian secara matang, termasuk di antaranya melakukan diskusi dengan semua stakeholder kelapa sawit nasional. Tujuannya agar semua pihak yang terkait dengan perkelapasawitan nasional bisa menerima kebijakan yang akan diputuskan pemerintah.
Senada dengan Awiek, Anggota Komisi VI DPR RI Firman Subagyo menilai pemerintah harus hati-hati dalam membuat satu kebijakan terkait komoditas CPO yang akan dimasukkan dalam bursa. “Karena ini bersinggungan dengan kepentingan petani, yang notabene mereka memiliki jutaan hektare lahan yang mereka belum paham mengenai mekanisme dan metodologi bursa komoditas,” ujarnya.
Menurut dia, kalau berbicara bursa komoditi, ada regulasi-regulasi yang harus ditaati baik itu regulasi tingkat nasional ataupun tingkat internasional. “Nah pertanyaan, apakah kita siap tidak? Kalau tidak siap, ini akan menimbulkan persoalan baru mengingat yang namanya CPO ini kan komoditas yang sangat strategis,” katanya.
Oleh karena itu, Firman menegaskan, pemerintah jangan terlampau tergesa-gesa, tapi harus dibuat simulasi dan dibicarakan dengan para stakeholders. “Hal-hal seperti ini harus dikaji pemerintah, agar jangan sampai nanti gagasan yang bagus justru tidak bermanfaat karena ketidaksiapan kita sendiri,” katanya menjelaskan.
Dia menilai pemerintah biasanya membuat regulasi dengan mengikuti tren, tapi tidak ada kajian yang mendalam dan mendasar, serta tidak ada kajian detail tentang kesiapan stakeholders seperti apa. “Ini yang saya khawatirkan,” katanya.
Pelaku usaha baik yang kecil, menengah, maupun besar, harus diajak bicara terkait masalah bursa saham komoditas. Dia mempertanyakan apakah pelaku usaha yang kecil seperti petani sawit mengerti bagaimana regulasi bursa komoditas, lalu apa saja yang harus dipersiapkan.
Untuk itu, Firman mendesak Kementerian Perdagangan untuk tidak memaksakan kebijakan barus diterapkan secara terburu-buru. “Stakeholders harus dilibatkan agar sesuatu yang tujuannya baik, dapat berjalan baik, dan tidak ada yang dirugikan,” katanya.
Di sisi lain, Firman juga mengusulkan adanya undang-undang khusus perkelapasawitan untuk melindungi komoditas strategis ini. “Malaysia sudah punya Undang-Undang crude palm oil. Dengan adanya UU perkelapasawitan di Malaysia itu sangat bagus dan melindungi komoditas strategis mereka, sehingga tidak jadi persoalan di internasional karena jelas bahwa yang namanya sawit di Malaysia itu tanaman hutan, kalau di Indonesia kan masih belum ada regulasi itu,” katanya.