REPUBLIKA.CO.ID, LIVERPOOL -- Everton menghabiskan sebagian besar waktunya di Liga Primer Inggris musim ini di papan bawah klasemen sementara. Berada di peringkat ke-11, tepatnya pada pekan kesepuluh, tercatat menjadi posisi terbaik the Toffees pada sepanjang Liga Primer Inggris musim ini.
Ancaman degradasi ke Divisi Championship membayangi Everton, terutama saat memasuki empat laga pamungkas Liga Primer Inggris musim ini. Everton berada di peringkat ke-17 atau posisi terakhir zona aman Liga Primer Inggris.
Catatan apik Everton, yang tidak pernah terdegradasi sejak 1954, terancam berakhir pada musim ini. The Toffees hanya mencatatkan keunggulan dua poin atas Leicester City, yang duduk di peringkat ke-18 atau posisi teratas zona degradasi.
Hasil di laga pamungkas Liga Primer Inggris, akhir pekan lalu, menentukan nasib kedua tim tersebut. Sejarah akhirnya mencatat, Everton mampu bertahan di Liga Primer Inggris.
Kendati Leicester City sukses membungkam West Ham United, 2-1, Everton tetap finish di atas the Foxes. Di laga lainnya, yang digelar di Stadion Goodison Park, Everton menundukkan tamunya, Bournemouth, dengan kemenangan tipis, 1-0.
Gol sepakan jarak jauh Abdoulaye Doucoure pada menit ke-57 menjadi satu-satunya gol di laga tersebut. Gol itu sudah cukup membawa Everton memetik tiga angka dan memastikan partisipasi Everton di pentas Liga Primer Inggris musim depan. Luapan kegembiraan dan emosi pun pecah di Stadion Goodison Park saat wasit meniup peluit akhir tanda laga usai.
Pendukung Everton bisa bernapas lega setelah tim kesayangannya lolos dari lubang jarum pada musim ini. Kendati begitu, kegembiraan itu berlangsung sekejap. Kekecewaan dan kemarahan pendukung the Toffees atas performa Dominic Calvert-Lewin dan kawan-kawan pada sepanjang musim ini tetap terasa.
Tidak ada jaminan buat the Toffees untuk bisa tampil lebih baik pada musim depan. Bukan tidak mungkin, Everton akan kembali menghadapi situasi serupa pada musim ini apabila tidak ada perubahan signifikan, terutama di jajaran direksi dan para petinggi klub.
Sasaran kemarahan dan kekecewaan suporter Everton memang tidak ditujukan buat anak-anak asuh Sean Dyche tersebut, melainkan pada jajaran petinggi klub. Hampir sepanjang musim ini, suara protes dari pendukung Everton itu ditujukan kepada pemilik Everton, Farhad Moshiri, pemimpin Dewan Direksi Everton Bill Kenwright, dan CEO Everton Denise Barret-Baxendale.
Salah satu kasus paling menonjol adalah dugaan pelanggaran finansial yang dilakukan Everton. Dalam tiga musim terakhir, Everton mengalami kerugian hingga mencapai 372 juta poundsterling. Angka ini tiga kali lebih besar dari nilai kerugian yang diperbolehkan Premier League. Everton pun sempat diberikan kepada Komisi Independen terkait kemungkinan pengambilalihan kepemilikan.
Jajaran direksi Everton pun tidak tinggal diam dengan mencari investor baru. Moshiri dikabarkan sudah mencapai kesepakatan dengan MSP Sport Capital terkait investasi di Everton, termasuk prospek pembangunan stadion baru. Pun dengan pertemuan antara para petinggi klub dengan kelompok suporter.
''Namun, sudah terlalu banyak kesalahan yang dilakukan Moshiri. Investasi baru itu mesti datang dengan perubahan di jajaran direksi. Kursi direksi di Stadion Goodison Park tidak bisa dibiarkan kosong. Namun, jajaran direksi yang saat ini juga tidak bisa kembali lantaran sudah terbukti tidak bisa dipertahankan,'' tulis kolumnis BBC, Phil McNulty, Senin (29/5/2023).
Sementara menilik performa di atas lapangan, Everton sebenarnya masih memiliki pemain-pemain yang bisa diandalkan, seperti Jordan Pickford, Yerry Mina, ataupun James Garner. Dyche pun dianggap mampu mengangkat mentalitas para penggawa the Toffees setelah dipercaya menggantikan Frank Lampard pada awal Februari 2023.
Karena itu, sorotan terbesar dari torehan mengecewakan the Toffees pada musim ini terletak pada kemampuan para petinggi klub untuk mengelola salah satu klub tertua di Inggris tersebut. ''Everton membutuhkan perombakan yang serius dan ide-ide segar di jajaran hierarki klub. Jika tidak, keberhasilan bertahan di pentas Liga Primer Inggris hanya menjadi penangguhan sementara dari sanksi kegagalan mengelola klub,'' kata McNulty.