Selasa 30 May 2023 09:30 WIB

Indeks Saham Asia Cenderung Menguat, IHSG Malah Dibuka Turun 

IHSG melanjukan penurunan ke level 6.637,34 setelah tiga hari jatuh ke zona merah.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Karyawan berjalan di dekat layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/6/2022). IHSG melanjukan penurunan ke level 6.637,34 setelah tiga hari sebelumnya jatuh ke zona merah.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Karyawan berjalan di dekat layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/6/2022). IHSG melanjukan penurunan ke level 6.637,34 setelah tiga hari sebelumnya jatuh ke zona merah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami koreksi pada pembukaan perdagangan Selasa (30/5/2023). IHSG melanjukan penurunan ke level 6.637,34 setelah tiga hari sebelumnya jatuh ke zona merah. 

Pelemahan IHSG terjadi di tengah pergerakan indeks saham di Asia yang cenderung menguat. Nikkei dan Hang Seng dibuka hijau, sementara Strait Times berhasil rebound setelah sempat dibula turun. 

Baca Juga

"Indeks saham di Asia pagi ini dibuka beragam (mixed) dengan kecenderungan menguat menjelang voting di Kongres AS atas kesepakatan penambahan plafon utang Pemerintah AS," kata Phillip Sekuritas Indonesia.

Indeks STOXX Europe 600 ditutup turun 0,1 persen dan imbal hasil (yield) surat utang Pemerintah negara-negara zona Euro bergerak turun menjelang rilis data Inflation zona Euro pada hari Rabu dan Kamis. Yield surat utang Pemerintah Jerman turun 10 bps menjadi 2,43 persen.

Kongres AS di jadwalkan melakukan voting paling cepat pada Rabu besok. Dukungan dari Partai Republik dan Partai Demokrat dibutuhkan untuk meloloskan kesepakatan plafon utang ini menjadi UU.

Fokus perhatian investor sekarang bergeser pada prospek ekonomi dan arah pergerakan suku bunga. Rilis data ekonomi belakangan ini diberbagai negara maju telah membuat keputusan suku bunga acuan oleh bank sentral semakin rumit.

Ketahanan ekonomi dan masih ketatnya pasar tenaga kerja dapat memberi tekanan ke atas pada upah dan inflasi. Hal ini berpotensi membuat inflasi yang tinggi tumbuh mengakar dalam ekonomi dan lebih sulit untuk diturunkan.

"Data pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang keluar lebih baik dari ekspektasi telah memberi sorotan pada risiko yang berpotensi dihadapi oleh Federal Reserve jika melonggarkan kebijakan moneter terlalu awal," kata Phillip Sekuritas.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement