REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDI Perjuangan mengomentari respons SBY soal rumor sistem pemilu sebagai bentuk menakuti-nakuti rakyat. DPP Partai Demokrat menyatakan, komentar PDIP itu tidak pas dan malah menyesatkan.
Politisi Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, mengatakan, apa yang disampaikan Denny Indrayana dan SBY sejatinya adalah cara mengaktifkan keawasan publik. Sehingga, terjadi kontrol publik atas berbagai proses hukum dan politik yang tengah berjalan.
"Agar tidak terjadi perselingkuhan dan persekongkolan antara eksekutif dan yudikatif," kata Kamhar kepada Republika.co.id, Selasa (30/5/2023).
Kamhar turut menyoroti lemahnya fungsi check and balance di DPR. Besarnya koalisi pemerintah menguasai parlemen dan Jokowi yang dominan mengendalikan koalisi membuat segala agenda politik penguasa berjalan tanpa kontrol demokrasi.
Akibatnya, parlemen tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan, baru-baru ini terjadi gratifikasi masa jabatan oleh MK bagi pimpinan-pimpinan KPK, setelah sebelumnya gratifikasi penambahan usia hakim MK yang dilakukan oleh penguasa.
Ia melihat telah terjadi persekongkolan jahat untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, Kamhar menilai, menjadi wajar jika SBY yang merupakan presiden keenam RI bereaksi, baik sebagai negarawan maupun Demokrat sejati.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat ini merasa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tentu memahami bentuk menakuti-nakuti itu justru seperti pernyataan dari Presiden Jokowi pada 2022. Jokowi menyampaikan kalau 2023 akan gelap dan mencekam.
Padahal, Kamhar menekankan, terbungkus kepentingan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Kenyataannya, selama 2023 ini tidak terjadi demikian, bahkan publik turut menolak perpanjangan masa jabatan presiden jadi tiga periode.
"Baiknya Bung Hasto fokus merespons perkara BTS yang infonya namanya masuk pusaran megakorupsi berjamaah yang nilainya fantastis atau fokus Harun Masiku. Kami tak diajarkan ketika berkuasa hukum tajam ke lawan, tumpul ke kawan," ujar Kamhar.