REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepolisian Daerah Jawa Timur membongkar kasus penipuan berkedok trading. Dalam kasus ini, polisi menangkap seorang tersangka yang merupakan mantan pekerja migran Indonesia (PMI) berinisial SR.
Korban dari penipuan tersebut adalah PMI yang tersebar di Indonesia, Hongkong, dan Taiwan. Dari aksinya tersebut, tersangka SR meraup keuntungan mencapai Rp 3,7 miliar.
"Untuk korbannya ada sebanyak 258 orang, tersebar di Indonesia, Hongkong, dan Taiwan. Total kerugian mencapai Rp 3,7 miliar," kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Toni Hermanto di Mapolda Jatim, Surabaya, Selasa (30/5/2023).
Dirreskrimsus Polda Jatim, Kombes Farman, menjelaskan kasus itu berawal ketika Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, mendapat tembusan surat dari Kadivhubinter Polri pada 12 Mei 2023. Surat bernomor B/1903/V/HUM.4.4.2/2023/Divhubinter tertanggal 21 Mei 2023 itu perihal penyampaian informasi kasus penipuan investasi palsu oleh SR.
"Pelapor adalah suami dari korban dengan terlapor bernama SR. SR ini seolah-olah membuka usaha dan menawarkan ke suami dan kemudian menyebar kepada korban lainnya," kata Farman.
Berdasarkan surat dari Kadivhubinter Polri tersebut, pihaknya melakukan penyelidikan terkait investasi trading dengan nama Arfa Forex Trading. Hasilnya, trading ilegal itu diketahui mulai berdiri dan beroperasi sejak 2018.
"Awalnya pelaku ini PMI di Hongkong sejak 2014, bekerja sama majikannya yang memang bekerja sebagai trader. Setelah dia belajar, akhirnya pelaku mendirikan usahanya pada 2018," ujarnya.
Modus operandi yang dijalankan, pelaku mencari korban melalui sosial media seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Pelaku menjanjikan keuntungan 15 sampai 20 persen dalam waktu seminggu kepada korbannya.
Uang yang diinvestasikan bisa ditarik setelah 15 pekan. "Jumlah investasi korban bervariasi, mulai Rp 500 ribu hingga Rp1 juta dengan total kerugian Rp3,7 miliar dari 258 korban tersebar di tiga negara," kata dia.
Pada awalnya, korban yakin pelaku akan membayar kepada korban. Namun ternyata pelaku tidak kunjung membayar hingga memutuskan melapor ke polisi.
Hasil pemeriksaan, pelaku tidak memiliki aset. Sementara uang hasil penipuan sudah habis digunakan untuk keperluan sehari-hari.
"Ada beberapa korban yang sudah mendapat keuntungan dan dibayarkan 15-20 persen per pekan, dari hasil investasinya. Tapi pada pekan berikutnya tidak dibayarkan oleh pelaku, sehingga korban tetap mengalami kerugian," ujarnya.