REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus dugaan pemerkosaan perempuan berusia 15 tahun di Sulawesi Tengah (Sulteng) oleh 11 orang. Selanjutnya, pemerintah daerah wajib mendampingi korban sesuai kebutuhan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar, mengecam keras kasus tersebut. Ia mendorong agar para pelaku dapat dihukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
"Dengan memberikan hukuman bagi para pelaku, negara membuktikan komitmen untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan memberikan efek jera bagi pelaku," kata Nahar dalam keterangannya pada Selasa (30/5/2023).
Nahar mendorong aparat penegak hukum dan pemerintah daerah menggunakan perspektif korban dalam menangani kasus, dan memberikan pendampingan pada korban. "Ini diperlukan untuk menghindari korban mengalami kekerasan kembali atau mengalami trauma yang berulang," lanjut Nahar.
KPPPA telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulteng untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, dan penanganan kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Hasilnya, korban telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kondisi fisik pasca kekerasan seksual.
"Dari hasil pemeriksaan kesehatan, terinfo bahwa korban mengalami gangguan reproduksi sehingga perlu mendapatkan penanganan medis lebih lanjut," ujar Nahar.
Sedangkan, untuk pemeriksaan psikologis belum dapat dilaksanakan karena korban masih dalam perawatan intensif di rumah sakit. KPPPA mengawal pendampingan dan pemulihan kesehatan korban, baik kesehatan fisik maupun psikisnya.
"Kami juga akan terus mengawal proses hukum kasus ini agar korban benar-benar mendapatkan keadilan dan dapat melanjutkan kehidupannya tanpa rasa takut," ujar Nahar.
Saat ini, Polres Parigi Moutong telah menetapkan 10 tersangka dari 11 terduga pelaku kasus pemerkosaan terhadap korban. Adapun lima di antaranya sudah ditahan. Atas perbuatan yang dilakukan, para pelaku dapat dikenai pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Selain dikenakan sanksi pidana, para pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas atau tindakan kebiri kimia atau pemasangan alat pendeteksi elektronik.
"Ini mengingat pemerkosaan dilakukan lebih dari satu orang dan mengakibatkan korban mengalami gangguan atau hilangnya fungsi reproduksi, serta pelaku merupakan guru dan kepala desa yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak," ujar Nahar.
Diketahui, jika perbuatan pelaku memenuhi unsur Pasal 76 D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka pelaku terancam hukuman pidana sebagaimana ditegaskan dalam pasal 81 UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban kekerasan seksual juga berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Adapun restitusi sebagaimana dimaksud berupa ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual, penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis, dan ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.