REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H/2023 M beberapa waktu lalu, ada perbedaan antara pemerintah dan sebagian ormas Islam di Indonesia. Begitu juga dalam penentuan Hari Raya Idul Adha pada Juni 2023, juga ada potensi perbedaan.
“Ada potensi berbeda lagi (Idul Adha, sama seperti penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri 2023),” ujar Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Prof Kamaruddin Amin saat ditemui usai menutup acara "Peta Moderasi Beragama di Kelompok Media" yang digelar Direktorat Penais Kemenag di Jakarta, Selasa (30/4/5/2023).
Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2023, Lebaran Idul Adha pada 10 Zulhijah bertepatan pada 29 Juni 2023. Sementara, PP Muhammadiyah sudah menetapkan lebih dulu bahwa Idul Adha 2023 jatuh pada 28 Juni 2023.
Meskipun ada potensi perbedaan itu, menurut Prof Kamaruddin, Pemerintah Indonesia baru akan menetapkan Idul Adha 2023 secara resmi pada saat menggelar sidang itsbat penetapan awal Dzulhijjah 1444 Hijriah.
“Jadi meskipun (ada potensi perbedaan), kita tunggu hasil sidang itsbatnya. Tapi, potensi itu sama dengan kemarin, ada potensi perbedaan itu karena posisi hilal,” ujar Prof Kamaruddin.
Lalu mengapa akhir-akhir ini sering berbeda dalam penetapan hari raya atau awal Ramadhan?
“Itu murni karena posisi hilalnya yang seperti itu kondisinya. Jadi ada kemungkinan berbeda lagi. Tapi kita tunggulah sidang Itsbat dan mengharapkan masyarakat bisa menerimanya secara bijak kalau pun ada perbedaa-perbedaann seperti itu,” kata Prof Kamaruddin.
Dengan adanya perbedaan Hari Raya Idul 2023, sebelumnya juga sempat memicu perdebatan para ahli di media sosial. Perdebatan itu dipicu oleh status Facebook peneliti BRIN, yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Profesor Thomas Djamaluddin.
Prof Kamaruddin menilai, perdebatan terkait penentuan hari raya di media sosial memang cukup sulit untuk dibendung. Karena, menurut dia, setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing.
“Tapi yang perlu kita bersama-sama konsen adalah saling mengharagai perbedaan itu, dan perbedabatan itu supaya tetap bijak, tidak saling menghujat, tidak saling menghina dan seterusnya, artinya tetap dengan cara-cara yang terhormat,” kata Prof Kamaruddin menjelaskan.
Dia pun menyayangkan peneliti BRIN, Andi Pangerang Hasanuddin yang sempat menjadi sorotan lantaran mengunggah komentar kontroversial di Facebook Prof Djamaluddin. Bahkan, Hasanuddin mengancaman warga Muhammadiyah.
Karena itu, dia pun mengimbau kepada masyarakat untuk selalu santun dalam mengutarakan pendapatnya di media sosial, sehingga kasus seperti itu tidak terjadi lagi.
“Kita imbau supaya saling menghormati supaya santun dalam menyampaikan pendapat. Mudah-mudahan tidak lagi seperti itu (Kasus AP Hasanuddin), karena itu meresahkan masyarakat. Mudah-mudahan tidak ada lagi kasus seperti itu,” kata Prof Kamaruddin.
Dia mengakui perdebatan yang dilakukan di media sosial memang tidak begitu produktif. Karena itu, menurut dia, pihaknya terus melakukan diskusi ilmiah terkait dengan penentuan awal bulan Hijriah.
“Diskusi-diskusi akademik terus kita lakukan, kita kan sering dialog, sering mengundang juga para pakar untuk mendiskusikan itu,” ujar Prof dia.