REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pimpinan Pusat Muhammadiyah merespon sejumlah advokat yang berupaya untuk mengajukan Judical review (uji materi) sejumlah pasal dan frasa terkait kewenangan jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Mereka menginginkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi dicabut.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu'ti, mengatakan setiap warga negara berhak untuk mengajukan judicial review apabila terdapat individu atau sekelompok warga negara yang mengalami kerugian atau ketidakadilan konstitusional akibat diberlakukannya suatu undang-undang, atau apabila ada pasal dalam Undang-undang, bahkan suatu Undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait kekhawatiran adanya upaya memperlemah Kejaksaan Agung dalam upaya pemberantasan korupsi, Prof Mu'ti menilai Kejagung tetap dapat melaksanakan tupoksinya asal tidak melampaui yang menjadi tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Sepanjang tidak overlap dengan KPK, Kejaksaan Agung tetap bisa melaksanakan tugas dan fungsi seperti sekarang ini," kata Prof Mu'ti kepada Republika.co.id pada Rabu (31/5/2023).
Sebelumnya Komisi Kejaksaan (Komjak) menilai ada agenda terselubung yang digencarkan sejumlah pihak dari kalangan advokat atau pengacara dalam upaya mendegradasi, serta melemahkan peran Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindak hukum para pelaku tindak pidana korupsi.
Ketua Komjak Barita Simanjuntak mengatakan, menjadi hak semua warga negara dalam penggunaan jalur hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) atas pasal-pasal dan frasa bermasalah di semua Undang-undang (UU).
Namun, terkait pengajuan uji materi yang mempertentangkan, apalagi mendesak penghapusan kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, patut dicurigai sebagai ‘serangan’ balik para pembela koruptor.
"Komisi Kejaksaan (Komjak) melihat ada agenda yang harus diwaspadai di balik uji materi terhadap kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan melalui gugatan ke MK," kata Barita.