REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Melati Erzaldi
Menteri PPN/Kepala Bappenas RI, Suharso Monoarfa saat memimpin Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dalam rangka Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di Bali Nusa Dua Convention Center, Senin (22/5) lalu menyatakan, RPJPN 2025-2045 bertema Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan tersebut menjadi pedoman dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045.
Dalam konteks visi pembangunan "Indonesia Emas 2045" itu, merupakan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan berdaulat secara ekonomi pada tahun 2045, yang merupakan tahun peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Visi ini mencakup berbagai aspek pembangunan, termasuk pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, inovasi teknologi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, perlu dicatat bahwa ini adalah tujuan jangka panjang yang membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan di Indonesia.
Salahsatu aspek untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 itu adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Menciptakan generasi unggul dan produktif adalah mutlak dilakukan sebagai langkah keberlanjutan pembangunan.
Generasi unggul ini akan menjadi tulang punggung pembangunan negara di masa depan. Dengan menyiapkan mereka dengan pendidikan, keterampilan, dan pengetahuan yang baik, mereka akan menjadi sumber daya yang berharga dalam mengatasi tantangan dan memajukan negara ke depan.
Generasi unggul yang memiliki keterampilan, pemahaman budaya, dan kemampuan beradaptasi akan memiliki daya saing yang lebih baik di pasar global. Mereka akan mampu bersaing dalam dunia kerja yang semakin kompetitif dan dapat menghasilkan inovasi yang diperlukan untuk kemajuan ekonomi.
Stunting menjadi penghambat
Namun demikian saat ini, kita dihadapkan pada masalah stunting yang dapat menjadi penghambat dalam penyiapan generasi unggul dan berkualitas di masa mendatang itu.
Stunting masih menjadi masalah yang cukup luas di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut data dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, prevalensi angka stunting di Indonesia tahun 2022 sebesar 21,6 persen pada anak balita. Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga anak balita mengalami stunting, yang mengindikasikan tingkat kekurangan gizi yang signifikan.
Stunting memiliki dampak yang signifikan pada pembangunan karena berdampak pada berbagai aspek kehidupan individu, masyarakat, dan negara secara keseluruhan. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia dan ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa.
Hal ini dikarenakan anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang tentunya akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif.
Jika masalah stunting ini tidak dientaskan sejak saat ini, maka akan menjadi ancaman untuk mewujudkan target Indonesia Emas 2045
Faktor penyebab stunting
Stunting merujuk pada kondisi pertumbuhan terhambat secara kronis pada anak, biasanya terjadi pada masa 0-5 tahun. Stunting terjadi ketika anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari standar yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Pengukuran yang umum digunakan untuk mengidentifikasi stunting adalah Indeks Antropometri (tinggi badan per usia).
Penyebab stunting dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah
- Kurangnya Gizi
Kekurangan gizi pada masa kehamilan dan 1.000 hari pertama kehidupan anak, termasuk defisiensi zat gizi seperti protein, energi, zat besi, vitamin A, dan yodium, dapat menyebabkan stunting. Gizi buruk pada ibu hamil atau praktik pemberian makan yang tidak memadai pada bayi dan anak-anak dapat berkontribusi terhadap stunting.
- Infeksi dan Penyakit
Infeksi kronis yang sering terjadi pada masa kanak-kanak, seperti diare berulang, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi parasit, dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi dan menyebabkan stunting.
- Lingkungan Hidup yang Tidak Sehat Lingkungan yang tidak higienis, sanitasi yang buruk, akses terbatas terhadap air bersih, dan sanitasi yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko infeksi dan penyakit yang berkontribusi pada stunting.
- Faktor Ekonomi dan Sosial: Ketidakmampuan orang tua atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak, termasuk akses terhadap makanan bergizi, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang mendukung, dapat menjadi faktor yang menyebabkan stunting. Ketidakseimbangan ekonomi dan sosial, termasuk kemiskinan, dapat mempengaruhi akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak yang sehat.
- Pola Hidup yang Tidak Sehat
Pola makan yang tidak seimbang, termasuk kurangnya keragaman pangan dan rendahnya konsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan, sayuran, protein hewani, dan sumber zat besi, dapat menyebabkan stunting.
- Pernikahan Dini
Pernikahan dini menjadi penyumbang terbesar terjadinya stunting. perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belum matang, serta belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Hal itu dibuktikan dari data BPS, sebesar 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak dengan usia ibu 14 --- 15 tahun, sedangkan 22,4 persen dengan rentang usia 16 --- 17 tahun.
Kolaborasi aktif bersama
Pengentasan stunting memang menjadi program prioritas secara nasional. Kolaborasi seluruh elemen, baik pemerintah pusat maupun daerah, serta masyarakat, dibutuhkan untuk intervensi pengentasan stunting secara terintegerasi.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mempersiapkan Indonesia Emas tanpa stunting:
- Peningkatan Gizi Anak
Penting untuk meningkatkan pemahaman dan akses masyarakat terhadap gizi yang seimbang dan berkualitas, terutama pada masa kehamilan dan 1.000 hari pertama kehidupan anak. Program-program pendidikan dan informasi dapat membantu para ibu untuk memberikan perawatan gizi yang baik kepada anak-anak mereka.
- Akses Makanan Bergizi
Memastikan akses yang lebih baik terhadap makanan bergizi yang mencukupi bagi keluarga dengan harga terjangkau adalah faktor penting dalam mengatasi stunting. Upaya dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi pangan lokal, diversifikasi pangan, pengembangan pertanian berkelanjutan, dan program-program bantuan pangan bagi keluarga yang rentan.
-Pelayanan Kesehatan dan Gizi
Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi juga merupakan langkah penting. Ini termasuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas layanan antenatal, perawatan ibu dan bayi yang komprehensif, dan pemantauan pertumbuhan anak secara rutin.
- Pendidikan dan Kesadaran
Kampanye edukasi yang melibatkan masyarakat, termasuk orang tua, guru, dan tenaga medis, dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang stunting dan pentingnya gizi yang baik. Pendidikan yang terus-menerus tentang bahaya pernikahan usia anak, pemenuhan gizi seimbang dan praktik-praktik yang sehat dapat membantu mengubah perilaku dan pola makan yang tidak sehat.
- Kolaborasi dan Kemitraan
Tantangan stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif melibatkan pemerintah, sektor swasta, LSM, dan masyarakat sipil. Kolaborasi yang erat dan kemitraan yang kuat dapat mempercepat upaya penanggulangan stunting.
Sekuntum Melati cegah stunting lewat pemberdayaan perempuan
Sekolah Sekuntum Melati (Sekolah untuk Perempuan Jadi Mandiri dan Terlatih), yang awal lahir karena dilatarbelakangi oleh fenomena tingkat KDRT dan stunting yang cukup tinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang sebagian besar diakibatkan dari segi ekonomi ini, menjadi salah satu wadah dan upaya pengentasan stunting di Bumi Serumpun Sebalai, melalui pemberdayaan perempuan.
Sekuntum Melati yang memiliki harapan besar untuk mewujudkan perempuan yang berdaya, mandiri, terlatih seperti apa yang menjadi visi dan misinya itu menjadikan perempuan berdaya secara ekonomi.
Dengan demikian, perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga dapat membantu kecukupan ekonomi keluarganya, yang dapat digunakan untuk pemenuhan gizi, khususnya kepada anak-anak.
Selain itu, di Sekuntum Melati juga diajarkan berbagai macam ketrampilan, salahsatunya adalah pengetahuan tentang pola asuh keluarga, termasuk peyiapan makanan bergizi, sehat dan berimbang bagi keluarga. Diharapkan, Sekuntum Melati ini ikut andil dalam pengentasan stunting dan kemiskinan.
Semua upaya itu dilakukan agar stunting ini dapat dihentikan. Sehingga pada tahun 2045, Indonesia benar-benar mencapai Indonesia Emas, yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (human capital index) tinggi dan anak-anak bangsa menjadi produktif serta mempunyai daya saing.
Tetapi kalau kita hanya berdiam diri, dan kondisi ini dibiarkan, maka 15 tahun kemudian generasi yang sekarang, balita ini hanya bisa mampu mengekspresikan potensinya sebanyak 59 persen.
Bagaimana kita bisa bersaing, dan berbicara industri 4.0 atau 5.0, kalau kapasitas sumber daya manusia kita hanya 59 persen dari kondisi normal?