Rabu 31 May 2023 23:19 WIB

Uni Eropa Terapkan Antideforestasi, Ini Tantangan yang akan Dihadapi Indonesia

Kebijakan EUDR menjadi tantangan bagi negara yang mengirim sawit ke Eropa.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan Malaysia saat ini tengah membahas respons terhadap kebijakan antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR). Dalam pembahasannya, Direktur PPH Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri mengungkapkan persyaratan yang ditetapkan dari kebijakan EUDR tersebut menjadi tantangan bagi negara yang mengirim komoditas sawit ke Uni Eropa.

"Persyaratan ini menjadi perdebatan. Ini menjadi tantangan kita bila kita mau memasuki pasar Uni Eropa," kata Prayudi dalam webinar Palm Oil Financing Forum, Selasa (30/5/2023).

Baca Juga

Prayudi menjelaskan, posisi kebijakan EUDR saat ini telah disahkan Drwan Eropa pada 16 Mei 2023. Sementara oleh parlemen Eropa sudah disahkan sejak 19 April 2023 lalu dan akan mulai berlaku pada Juni 2003.

Dalam masa transisi, Prayudi mengatakan masih ada yang perlu diperhatikan. "Yang pertama dalam implementasinya untuk operator itu diberikan waktu sampai 18 bulan ke depan setelah Juni 2023. Lalu yang UMKM 24 bulan setelah EUDR mulai berlaku," jelas Prayudi.

Prayudi menjelaskan, kebijakan EUDR tersebut mengatur kegiatan ekonomi atau bisnis yang dilakukan oleh operator dan UMKM di wilayah Eropa. Hanya saja ada pengecualian yaitu komoditas tersebut bebas deforestasi.

Lalu pengecualian kedua adalah telah produksi dengan ketentuan deforestasi nasional negara produksi yaitu dari segi legalitasnya. Pengecualian ketiga adalah hal yang terkait dengan uji tuntas.

"Tiga tantangan ini, menurut kami bisa kita jawab dengan progres atau legalitas yang telah disiapkan," ucap Prayudi.

Di sisi lain, Prayudi menyebut kebijakan EUDR tersebut memiliki beberapa konsekuensi yang bisa menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Khususnya apabila kebijakan tersebut diberlakukan pada delapan bulan ke depan atau 24 bulan ke depan.

Prayudi menjelaskan, kebijakan EUDR tersebut belum memiliki kerangka implementasi secara detail. "Oleh karena itu bisa kita katakan ini masih dalam potensi-potensi yang bisa muncul bila nanti diturunkan dalam peraturan-peraturan yang lebih detail dari pemberlakuan EUDR ini," ungkap Prayudi.

Dia menuturkan, dalam implementasinya, kebijakan EUDR ini akan menetapkan standar risiko dari suatu negara atau dari suatu komoditasya. Hal itu meliputi standar yang berdasarkan negara atau komoditas.

"Artinya bahwa kalau ini berdasarkan komoditas maka komoditas dari suatu negara tertentu yang akan menjadi perhatian masuk Uni Eropa. Tapi kalau ini berdasarkan negara maka setiap komoditas jika komoditas kita masuk ke Eropa maka secara otomatis standarnya sama. Ini yang sebetulnya perlu kita diskusikan dengan pihak Uni Eropa," tutur Prayudi.

Dia menuturkan, sistem tolok ukur tersebut memiliki risiko rendah, standar, dan tinggi. Dalam posisi tertentu, Prayudi menyebut, semua negara dalam posisi risiko standar.

Dalam posisi standar, Praydi mengatakan dilakukan penilaian bersifat independen dari Uni Eropa. Konsekunsinya, lanjut Prayudi, semakin tingi risiko maka persyaratan tersebut semakin berat atau semakin intens.

"Jadi ini akan berpengaruh. Jadi komunikasi kita penting bagaimana meyakinkan masyarakat di Uni Eropa dan pemerintahnya lalu kemudian eksportirnya atau pelaku usaha. Sehingga ini menjadi tantangan bagaimana posisi RI dalam posisi low risk," ujar Prayudi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement