REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Oktober lalu, Elon Musk membuat kesepakatan untuk membeli Twitter dengan harga 44 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 660,1 triliun. Pada saat itu, uang yang dikeluarkan untuk label harga tersebut diperkirakan terlalu banyak.
Musk sendiri mengakui bahwa dia dan rekan investornya mungkin telah membayar lebih untuk platform media sosial tersebut. Namun demikian, dia terus berjuang, bertekad untuk mengubah akuisisinya menjadi aplikasi “segalanya” yang, menurut perkiraannya yang kasar, pada akhirnya bisa bernilai 250 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3,7 kuadriliun.
Sekarang, lebih dari setengah tahun kemudian, hasil kerja keras Musk tidak hanya tidak membuahkan hasil tetapi juga tampaknya mendorong nilai pasar Twitter ke arah yang berlawanan.
Dilansir dari Gizmodo, Kamis (1/6/2023), pekan ini, raksasa jasa keuangan Fidelity memperkirakan dalam pengungkapan bulanan bahwa situs microblogging bernilai sekitar 33 persen dari apa yang awalnya dibayar Musk untuk itu. Ini berarti nilainya diperkirakan sekitar 15 miliar dolar AS atau 225,057 triliun. Fidelity muncul dengan evaluasi berdasarkan penurunan harga sahamnya sendiri di perusahaan.
Bloomberg, yang awalnya melaporkan penilaian Fidelity, mencatat bahwa “tidak jelas bagaimana Fidelity sampai pada penilaian baru yang lebih rendah atau apakah ia menerima informasi non-publik dari perusahaan.”
Bagaimanapun informasi yang didapat, kita semua bisa sepakat bahwa penilaian yang dihasilkan adalah tidak bagus. Di bawah kepemimpinan Musk, Twitter telah mencoba lebih dari beberapa upaya menghasilkan uang dengan cara yang aneh, termasuk tawaran untuk membuat orang membayar verifikasi profil.
Twitter juga telah mencoba memangkas biaya dengan memecat sebagian besar tenaga kerjanya, tetapi platform tersebut telah mengalami kesulitan keuangan lainnya seperti penurunan besar dalam pendapatan iklan.
Pria bernama lengkap Elon Reeve Musk ini tampaknya sadar bahwa situasi keuangan Twitter tidak bagus. Pada akhir Maret, sebuah memo bocor yang menunjukkan miliarder itu mengira Twitter saat itu bernilai sekitar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp 300,1 triliun), atau kurang dari setengah dari yang awalnya dia bayarkan saat membeli.