REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wanita yang sedang mendapat haidh tidak dibolehkan untuk melakukan tawaf dan sa'i. Sementara salah satu dari kewajiban haji adalah melakukan tawaf ifadhah.
Mengutip buku 2.300 Konsultasi Fiqih tulisan Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan masalah ini pernah terjadi pada diri ibunda mukminin Aisyah. Beliau ikut pergi haji bersama Rasulullah SAW, tetapi beliau mendapat haidh. Sehingga merujuklah ibunda mukminin ini kepada Rasulullah SAW.
Dan fatwa beliau SAW adalah bahwa semua amalan ibadah haji boleh dilakukan oleh wanita yang sedang mendapat haidh, kecuali dua hal tersebut, yaitu tawaf dan sa'i.
Sedangkan wukuf di Arafah yang menjadi puncak acara haji, tidak mensyaratkan kesucian dari hadats besar. Sehingga wanita yang sedang haidh tetap boleh melakukan wukuf. Demikian juga dengan ritual mabit di Muzdalifah dan Mina, tidak mensyaratkan suci dari haidh. Termasuk juga saat melontar jamarat dan lainnya. Semua tidak mensyaratkan kesucian dari haidh.
Namun, khusus untuk ibadah tawaf dan sa'i, Rasulullah SAW meminta Aisyah untuk menunggu dulu hingga suci dari haidh. Setelah suci dan mandi janabah itu barulah dipersilakan untuk melakukan tawaf dan sa'i.
Kalau solusi di masa nabi bagi para wanita yang sedang haidh adalah dengan cara menunggu hingga suci, rasanya sih mudah saja. Karena boleh jadi di masa itu urusan memperpanjang masa tinggal di Makkah merupakan hal biasa.
Akan tetapi, hal itu akan menjadi sulit bila dilakukan pada masa sekarang ini. Selain jumlah jamaah haji sudah sangat fantastis, juga kamar-kamar hotel semua sudah dibooking sejak setahun sebelumnya.
Sehingga urusan memperpanjang kunjungan di kota Makkah akan menjadi urusan yang sangat sulit. Karena terkait dengan jadwal rombongan jamaah haji.
Lagi pula tidak mungkin meninggalkan wanita yang sedang haidh sendirian di kota Makkah sementara rombongannya meninggalkannya begitu saja pulang ke tanah air. Sehingga kalau ketentuannya seorang wanita haidh harus menunggu di Makkah sampai suci, berarti rombongannya pun harus ikut menunggu juga.
Kalau satu wanita ikut rombonganyang jumlahnya 40 orang, maka yang harus memperpanjang masa tinggal di Makkah bukan satu orang tapi 40 orang. Kalau ada 10 ribu wanita yang haidh, berarti tinggal dikalikan 40 orang. Tidak terbayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk masalah perpanjangan hotel, biaya hidup dan lainnya.
Dan pastinya, tiap rombongan selalu punya anggota yang wanita. Otomatis semua jamaah haji harus siap-siap untuk menuggu sucinya haidh salah satu anggotanya. Dan artinya, seluruh jamaah haji akan menetap kira-kira dua pekan setelah tanggal 10 Dzjulhijjah, dengan perkiraan bahwa seorang wanita yang seharusnya pada tanggal itu melakukan tawaf ifadah malah mendapatkan haidh.
Dan karena lama maksimal haidh seorang wanita adalah 14 hari, maka setiap rombongan harus siap-siap memperpanjang masa tinggal di Makkah 14 hari setelah jadwal tawaf ifadhah yang normal.
Semua ini tentu merupakan sebuah masalah besar yang harus dipecahkan secara syar\'i dan cerdas.
Solusi cerdas itu adalah pil penunda haidh, di mana bila pil itu diminum oleh seorang wanita, dia akan mengalami penundaan masa haidh.
Masalahnya, bagaimana hukumnya? Apakah para ulama membolehkannya? Dan adakah nash dari Rasulullah SAW atau para shahabat mengenai hal ini
Hukum Minum Pil Penunda Haidh
Lihat halaman berikutnya >>