REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih sangat menyayangkan keputusan militer Sudan yang menarik diri dari pembicaraan damai dengan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang ditengahi Amerika Serikat.
"Kami ingin melihat pertempuran berhenti. Kami ingin melihat bantuan bisa masuk karena sulit bagi bantuan itu untuk bisa sampai ke orang-orang di Khartoum dan di wilayah lain di Sudan yang sangat membutuhkan makanan, air, dan obat-obatan," kata Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby kepada wartawan, Rabu (31/5/2023).
"Jadi sangat disayangkan bahwa militer memilih untuk keluar (dari pembicaraan damai)," ujar dia.
Menurut Kirby, AS ingin militer Sudan memanfaatkan kesempatan untuk berdamai. "Kami tentu serius tentang hal itu. Kami membantu mengadakan dan memfasilitasi pembicaraan ini. Kami ingin melihat mereka bertindak sesuai yang seharusnya," kata dia.
Ketika mengumumkan pengunduran dirinya dari pembicaraan damai, militer Sudan mengatakan, mereka keluar karena kurangnya komitmen RSF dalam menerapkan salah satu ketentuan perjanjian dan terjadinya pelanggaran terus-menerus terhadap gencatan senjata.
Keputusan itu diambil saat bentrokan sengit meletus pada Rabu antara tentara dan pejuang RSF di Ibu Kota Khartoum dan El-Obeid, ibu kota Negara Bagian Kordofan Utara.
Gencatan senjata selama tujuh hari yang disepakati militer dan RSF melalui mediasi oleh Arab Saudi dan AS berakhir pada Senin (29/5). Kedua pihak yang berkonflik tersebut setuju untuk memperpanjang periode gencatan senjata selama lima hari.
Sedikitnya 863 warga sipil tewas dan ribuan lainnya terluka dalam bentrokan antara tentara militer Sudan dan RSF sejak 15 April 2023, menurut petugas medis Sudan. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa lebih dari 1 juta orang telah mengungsi di dalam negeri Sudan akibat konflik tersebut.
Konflik dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir antara militer dan RSF tentang integrasi kelompok paramiliter ke dalam angkatan bersenjata Sudan. Integrasi tersebut menjadi syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.