REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqoddas, turut menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo terkait cawe-cawe untuk urusan negara.
Hal itu disampaikan Busyro saat menjadi salah satu narasumber dalam rapat kerja membahas pola hubungan majelis hukum dan HAM (MHH)-Lembaga Bantuan Hukum Muhammadiyah (LBHMU) yang diselenggarakan PW Muhammadiyah Jatim di Hotel Sheraton Surabaya, Kamis (1/5/2023).
Kedua unit advokasi milik Muhammadiyah tersebut, kata Busyro, dibentuk untuk mengadvokasi negara sebagai suprastruktur dan masyarakat sebagai infrastruktur.
Dikatakan, advokasi terhadap negara perlu dilakukan Muhammadiyah karena birokrasi negara harus ditolong. Menurut dia, di Muhammadiyah, tidak ada tradisi oposisi.
Meski demikian, Muhammadiyah selalu bersikap kritis, konstruktif, dan etis terhadap birokrasi negara. "Atas dasar itu, Muhammadiyah mengadvokasi negara ini," kata Busyro di sela acara.
Terlepas negara ini semakin carut marut, dia melanjutkan, Muhammadiyah tetap harus memberikan advokasi terhadap negara. Busyro menjelaskan, salah satu simbol semakin carut marutnya negara ini adalah Presiden Joko Widodo yang secara terbuka menyatakan akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
Ia bahkan menyebut, cawe-cawe Jokowi sebagai simbol deviasi demokrasi. "Terlepas negara ini semakin carut marut, disimbolisasi cawe cawe tadi. Itu kan simbol deviasi demokrasi, moral demokrasi, cawe-cawe tadi. Masa eksekutif cawe cawe urusan kayak gitu itu. Kan ndak boleh. Itu kita advokasi," ujarnya.
Busyro melanjutkan, unit-unit advokasi milik Muhammadiyah juga selalu siap mengadvokasi masyarakat. Salah satu contohnya adalah advokasi terhadap warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, yang ditangkap setelah mempertahankan tanahnya yang diserobot salah satu perusahaan.
"Nah, Muhammadiyah berpandangan negara dan masyarakat itu harus dikembalikan pada konsep yang ada. Negara itu tidak akan ada kalau gak ada rakyat. Maka rakyat satu-satunya yang disebut berkedaulatan," kata Busyro.