Kamis 01 Jun 2023 20:18 WIB

Hari Lahir Pancasila, Rektor UGM: Hayati Nilai Pancasila di Perguruan Tinggi

Pengamalan nilai Pancasila termanifestasi dalam etika keilmuan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Yusuf Assidiq
Rektor UGM Prof Ova Emilia.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Rektor UGM Prof Ova Emilia.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menggelar upacara peringatan Hari Lahir Pancasila, Kamis (1/6/2023) di halaman Balairung UGM. Rektor UGM Prof Ova Emilia mengajak seluruh sivitas UGM untuk menghayati kembali nilai-nilai Pancasila di lingkungan perguruan tinggi.

Menurutnya sivitas UGM perlu memikirkan bagaimana menyiapkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya adaptif, inovatif, sekaligus solutif, tetapi mampu mengaktualisasikan diri demi kemajuan pembangunan bangsa yang bermartabat, mandiri, serta mampu bertahan dalam menghadapi kompetisi global.

Kemudian nilai-nilai pengembangan sains pengetahuan dan teknologi, harus dijunjung tinggi dengan pengamalan nilai Pancasila yang termanifestasi dalam etika keilmuan. Dengan penghayatan etika keilmuan secara kolektif akan tercipta iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di PT.

Ova mengatakan Pancasila terlahir sebagai satu kesatuan pemahaman nilai yang mencerminkan hakikat jati diri bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan nilai, Pancasila sekian lama telah menjadi landasan penting bagi setiap visi pembangunan, pengembangan iptek, pembentukan karakter bangsa, dan penentuan peran Indonesia di kancah global.

“Pancasila juga memiliki nilai keutamaan untuk menyatukan perbedaan. Ia terlahir dari rahim kemajemukan, dan telah menjadi nilai kepemilikan kolektif bangsa ini, bukan hanya milik dari dan untuk golongan mayoritas ataupun minoritas,” kata Ova.

Peringatan Hari Lahir Pancasila kali ini mengusung tema "Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global". Menurut dia, gotong royong bukan sekadar jargon, tetapi hidup nyata dalam praktik keseharian masyarakat Indonesia.

Ova menambahkan arus globalisasi memberikan tantangan tersendiri bagi ketahanan ideologi Pancasila. Globalisasi berpotensi memberikan konsekuensi terhadap pergeseran atas penghayatan nilai-nilai ideologi bangsa.

Dengan lahirnya ideologi alternatif yang tak selaras dan menyusupi segenap sendi-sendi bangsa. Termasuk mereduksi semangat gotong royong yang telah menjadi karakter atau kekhasan mendasar negeri ini.

Menurutnya, liberalisasi dan kemudahan akses informasi juga membuka peluang tumbuhnya krisis multidimensi. Mulai dari merebaknya radikalisme, ekstremisme, budaya konsumerisme, kecenderungan menguatnya politik identitas, polarisasi sosial, hingga fragmentasi sosial berbasis SARA.

Belum lagi kesenjangan sosial dan ketidakmerataan pembangunan juga berpotensi memunculkan berbagai riak-riak kekerasan yang bisa memicu konflik lebih besar.

Untuk merespons berbagai tantangan yang ada, pemerintah telah menetapkan visi masa depan Indonesia sebagai "Negara Nusantara yang Berdaulat, Adil, Maju, dan Makmur" di 2045. Negara dalam visi tersebut bisa dimaknai sebagai entitas yang memiliki ketahanan, kesatuan, kemandirian, keamanan, dan ketangguhan, yang berdaya saing unggul, inovatif, serta berkelanjutan

"Cita-cita luhur ini tentu memerlukan peran serta dan komitmen seluruh komponen bangsa untuk mewujudkannya, tak terkecuali peran serta dan komitmen perguruan tinggi," tegas dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement