REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyebut ada empat kekacauan politik yang berpotensi terjadi apabila Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup alias sistem coblos partai digunakan pada Pemilu 2024. Pertama, partai politik terpaksa menyusun ulang daftar bakal caleg-nya yang sudah terlanjur diserahkan ke KPU.
Sebab, tahapan pendaftaran bakal caleg Pemilu 2024 sudah digelar menggunakan desain dan logika sistem proporsional terbuka. Kedua, banyak bakal caleg yang mengundurkan diri karena tidak mendapatkan nomor urut kecil atau teratas dalam daftar caleg partai. Sebagai catatan, dalam sistem proporsional tertutup, nomor urut merupakan penentu caleg mana yang berhak menenangkan kursi anggota dewan.
"Ketiga, ada potensi terjadi perebutan, bahkan perkelahian, dan jual beli nomor urut," kata Denny lewat keterangan tertulisnya, Kamis (1/6/2023).
Keempat, tiga kekacauan sebelumnya akan mengakibatkan persiapan Pemilu 2024 terganggu. Karena itu, Denny mendorong MK menolak gugatan uji materi sistem proporsional terbuka itu.
Menurutnya, MK bisa menolak dengan menggunakan argumentasi bahwa pilihan sistem pemilu merupakan open legal policy alias kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang. Dengan begitu, sistem proporsional terbuka tetap berlaku dalam Pemilu 2024. "Kalaupun mau mengubah sistem, maka serahkanlah kepada proses legislasi di parlemen," kata Denny.
Perubahan sistem lewat parlemen itu sebaiknya dilakukan setelah gelaran Pemilu 2024. Kendati mendorong agar gugatan itu ditolak, Denny juga tak menutup mata bahwa MK bisa saja memutuskan menerima permohonan seluruhnya sehingga sistem proporsional tertutup yang berlaku. Denny pun berharap agar MK tidak memberlakukan sistem proporsional tertutup itu pada Pemilu 2024, karena akan menimbulkan kebingungan dan kekacauan.
"Kalau tetap berketetapan mengubah menjadi sistem tertutup, (sebaiknya) dilaksanakan untuk pemilihan legislatif Pemilu 2029," kata mantan wakil menteri hukum dan HAM era SBY itu.
Pekan lalu, Denny mengaku mendapat informasi dari sumber terpercaya bahwa MK akan memutuskan penerapan sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. ‘Bocoran’ putusan yang disampaikan Denny itu seketika membuat dunia politik-hukum heboh.
Adapun MK belum membuat putusan atas gugatan uji materi sistem proporsional terbuka itu. MK baru akan membuat putusan dalam waktu dekat karena telah selesai menggelar sidang pemeriksaan dan menerima berkas kesimpulan dari para Pihak dan Pihak Terkait.
Juru bicara MK, Fajar Laksono pada Rabu (31/5/2023), mengatakan, sembilan hakim konstitusi akan segera menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan. Setelah itu, MK akan mengagendakan sidang pembacaan putusan.
Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan pada akhir 2022 lalu. Para penggugat yang salah satunya merupakan kader PDIP meminta MK memutuskan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut calon anggota legislatif (caleg) yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg maupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.
Pakar politik punya pandangan beragam terkait sistem mana yang paling tepat digunakan untuk pemilu di Indonesia. Sebagian menilai sistem proporsional terbuka yang cocok. Sebagian lain menilai sistem proporsional tertutup yang baik. Ada pula yang menilai sistem proporsional tertutup yang tepat asalkan internal partai politik diperbaiki terlebih dahulu.