REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Hubungan yang semakin tegang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina akan menjadi pusat perhatian pada pertemuan puncak Shangri-La Dialogue ke-20. Acara yang menyoroti keamanan kawasan akan berlangsung di hotel Shangri-La Singapura di Orchard Road pada Jumat hingga Ahad (2-4/6/2023).
Lebih dari 550 delegasi dari lebih dari 40 negara akan menghadiri forum tiga hari tersebut, termasuk Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Cina Li Shangfu. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan memberikan pidato utama, sedangkan Perdana Menteri Estonia Kaja Kallas dan Presiden Timor-Leste Jose Ramos-Horta juga akan menyampaikan pidato. Pembicara lain termasuk Menteri Pertahanan Ukraina, Inggris, Jerman, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan, serta kepala staf angkatan bersenjata Filipina.
Menjelang pertemuan tahun ini, pengamat politik telah mengantisipasi kemungkinan pertemuan antara kepala pertahanan AS dan Cina di sela-sela pertemuan puncak. Prediksi ini berkaca dari Forum 2022 yang menampilkan pertemuan pertama antara Austin dan menteri pertahanan Cina saat itu Jenderal Wei Fenghe.
Tapi Jenderal Li yang menjadi kepala pertahanan baru Beijing telah menolak permintaan Washington. Kementerian Pertahanan Cina menyalahkan AS karena menciptakan rintangan yang merusak kepercayaan dan menghambat upaya untuk meningkatkan komunikasi antara kedua kekuatan.
Austin menyayangkan penolakan Gen Li. Dia menyambut setiap kesempatan untuk terlibat dengan mitranya dari Cina.
Profesor ilmu politik di National University of Singapore Chong Ja Ian mengatakan, kurangnya pertemuan bilateral formal tahun ini menunjukkan hubungan yang tidak nyaman, bahkan tegang antara kedua kekuatan. “Namun bahkan dengan pertemuan, terobosan tidak mungkin terjadi,” katanya.
"Beberapa pengaturan untuk terus berbicara sementara gesekan tetap akan menjadi hasil yang paling mungkin," ujar Ian.
Menurut pemimpin lembaga yang menyelenggarakan Dialog Shangri-La James Crabtree, muncul kebingungan antara Washington dan Beijing dalam mengungkapkan visi yang berbeda secara mendasar. Mereka tidak tahu Peran komunikasi yang harus dimainkan dalam hubungan kekuatan yang besar.
“Dilihat dari Washington, komunikasi sangat dibutuhkan selama krisis… (tetapi) pandangan Beijing hampir persis sebaliknya,” tulis pemimpin cabang Asia dari International Institute for Strategic Studies (IISS) yang berbasis di London dalam artikel Straits Times.
“Cina menganggap komunikasi sebagai sesuatu yang harus terjadi ketika hubungan baik. Jika masalah berjalan ke selatan, memotong saluran komunikasi adalah cara mudah untuk menandakan ketidaksenangan," katanya.