REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartanto melanjutkan lawatannya ke Brussels pada 31 Mei untuk menemui para pejabat kunci Uni Eropa dalam pembahasan kelanjutan European Union Deforestation Free Regulation (EUDR).
Kegiatan yang tergabung dalam Joint Mission yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto dan Deputy Prime Minister/Minister of Plantation and Commodities of Malaysia Dato Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof.
Kegiatan ini merupakan pertemuan dengan beberapa pejabat Uni Eropa, di antaranya High Representative of the European Union for Foreign Affairs and Security Policy Josep Borrell-Fontelles, Commissioner for the Environment, Oceans and Fisheries Virginijus Sinkevicius. Lalu Executive Vice President European Green Deal and Commissioner for Climate Action Policy Frans Timmermans, Vice President of the European Parliament MEP Heidi Hautala, serta Chair of International Trade/INTA Committee MEP Bernd Lange.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia bersama Malaysia membicarakan berbagai isu dengan para pejabat kunci Uni Eropa. Namun topik utama dalam pembahasan menyangkut implementasi atau dampak dari EUDR terhadap akses pasar sawit ke Uni Eropa.
Adapun sebelumnya Airlangga menyampaikan penolakan serius EUDR dalam pertemuan dengan perwakilan Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Organisasi Masyarakat Sipil (CSOs). "Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit," kata Airlangga.
Menurutnya kebijakan EUDR seperti mengecilkan semua upaya Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan keanekaragaman hayati sesuai dengan kesepakatan, perjanjian dan konvensi multilateral, seperti Paris Agreement.
Selain membahas EUDR, Kemenko Perekonomian juga membahas penerapan country benchmarking (penerapan label high risk, standard, dan low risk kepada negara tertentu yang dinilai akan merusak citra). Selanjutnya Geolocation Data (membebani small holders dan isu keamanan data), pengakuan standar nasional/internasional sektor kelapa sawit sebagai langkah mitigasi dari EUDR (RSPO, ISPO dan MSPO). Lalu kompatibilitas EUDR terhadap ketentuan WTO dan komitmen Indonesia dan Malaysia dalam perlindungan hak-hak pekerja sesuai Konvensi ILO.
Sebagai langkah tindak lanjut, akan dijajaki usulan pembentukan mekanisme konsultasi/platform dialog (task force) antara Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa yang dapat melibatkan multi-stakeholder dalam rangka penyusunan aturan teknis penerapan EUDR yang tidak akan membebani dan memberatkan pelaku industri kelapa sawit dan para petani kecil (small holders).