REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong penyidik menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam kasus persetubuhan anak oleh 11 tersangka di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
"Penggunaan Pasal 2 UU TPKS untuk melengkapi penggunaan UU Perlindungan Anak dan KUHP agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat-beratnya serta perlindungan kepada korban," kata anggota Kompolnas Poengky Indarti saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Kasus perkosaan atau persetubuhan anak terhadap RO (15) di Parigi Moutong menjadi perhatian publik karena melibatkan 11 orang tersangka. Selain itu, kondisi fisik korban memburuk setelah kejadian tersebut, rahimnya harus segera diangkat.
Terlebih, Kapolda Sulteng Irjen Pol. Agus Nugroho pada konferensi pers di Mapolda Sulteng, Rabu (31/5) menyatakan kasus tersebut bukan pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur dan tindakan para tersangka dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara paksa, tetapi ada bujuk rayuan dan iming-iming, bahkan dijanjikan menikah.
Dalam kasus ini, kataPoengky, pasal yang digunakan penyidik untuk menjerat pelaku adalah Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain itu, juga digunakan Pasal 65 KUHP untuk perulangan kejahatan yang dilakukan pelaku.
"Jika melihat pasal perulangan kejahatan, ancaman hukumannya maksimal 15 tahun ditambah 1/3 (5 tahun) sehingga total 20 penjara," kata Poengky.
Sanksi pidana kepada para pelaku juga bisa diperberat dengan adanya kerusakan fungsi reproduksi yang dialami korban."Maka, ancaman hukuman bisa ditambah," kata Poengky.
Kasus tersebut terjadi sejak April 2022, kemudian keluarga RO pada bulan Januari 2023 melaporkan ke Polres Parigi Moutong setelah korban mengalami sakit di bagian perut.
Berdasarkan keterangan korban, kasus tersebut dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam kurun waktu 10 bulan. Dari 11 laki-laki yang dilaporkan, polisi telah menetapkan 10 tersangka berinisial HR 43 yang berstatus sebagai kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS, dan AK.
Sementara itu, MKS yang merupakan oknum anggota Polri masih dalam tahap pemeriksaan dan belum menjadi tersangka dengan alasan belum cukup bukti.