Ahad 04 Jun 2023 05:43 WIB

Berkurang 50 Persen, Ini Cara Jamaah Haji Berhemat Living Cost

Uang saku jamaah haji sebelumnya Rp 6 juta dan tahun ini Rp 3 juta.

Rep: Agung Sasongko/ Red: Lida Puspaningtyas
Suasana Toko Ali Murah, Madinah, Sabtu (3/6/2023). Jamaah Haji Indonesia mulai berburu oleh-oleh jelang keberangkatan menuju Makkah.
Foto: Republika/Agung Sasongko
Suasana Toko Ali Murah, Madinah, Sabtu (3/6/2023). Jamaah Haji Indonesia mulai berburu oleh-oleh jelang keberangkatan menuju Makkah.

REPUBLIKA.CO.ID, Nana Sudiana, jamaah haji asal Semarang memahami, uang saku atau living cost diberikan saat jamaah tiba di asrama haji, sebelum berangkat ke Tanah Suci. Sejak awal jamaah haji harus memiliki perencanaan yang baik untuk apa saja uang tersebut digunakan.

"Secara umum, ada dua kebutuhan, yakni kebutuhan pokok atau prioritas dan kedua kebutuhan tambahan," kata dia saat ditemui pada Jumat (2/6/2023).

Baca Juga

Kebutuhan pokok atau prioritas digunakan untuk beribadah qurban dan bayar denda (dam), untuk biaya harian (tambahan makan/minum) di luar jatah makan yang diberikan Kemenag serta untuk biaya tarwiyah (bila memilih opsi tarwiyah) serta ziarah Madinah/Makkah. Adapun biaya kebutuhan tambahan bisa untuk kuliner tambahan sekitar hotel atau bila masih ada sisa, buat oleh-oleh untuk dibawa pulang.

Sebenarnya, dengan jumlah 750 riyal, untuk biaya dam, tarwiyah dan ziarah, tak banyak sisa yang dimiliki. Belum lagi iuran rombongan atau regu (kalau ada).

"Saya dan rombongan dari Kota Semarang, malah secara angka justru minus sejak awal. Karena untuk dam dan ziarah sekitar 550 riyal dan nanti untuk tarwiyah sekitar 200-300 riyal," kata dia.

Namun, kata dia, kembali lagi menjadi tamu Allah SWT dalam proses haji, adalah sebuah kehormatan, juga sebuah kebaikan dari Allah SWT.

"Di tengah hal itu, semangat kita untuk bisa bersabar, sekaligus syukur harus selalu ditampakan di berbagai kesempatan," kata dia.

Salah satu yang dituntut dibuktikan adalah sabar selama proses berhaji.

"Mulai apa-apa harus antri, menerima apapun pemberian menu makan berikut lauknya, serta bersabar atas kendala atau halangan di tengah proses berhaji," kata dia.

Nana mengakui perlu ada pengelolaan cermat dengan living cost yang diberikan kepada jamaah haji tahun ini. Dengan nilai 750 riyal atau setara dengan hampir tiga jutaan tentu tak bisa sembarang digunakan.

"Bukan hanya harus hemat dan menggunakan sesuai prioritas, namun juga diperlukan kemampuan pengelolaan yang baik," papar Direktur Akademizi.

Namun, kata dia, hal ini tidak berarti jama'ah harus mempersulit diri, bahkan abai dalam aspek kesehatan dan keselamatan terhadap diri mereka selama berhaji.

Saat yang sama, kata dia, bagi jamaah haji, living cost sendiri tak semata bersumber dari biaya haji sendiri yang dikembalikan pemerintah ke jamaah. Namun juga bisa berasal dari uang sendiri yang dimiliki dan dibawa jama'ah, baik dalam bentuk cash maupun non tunai (rekening tabungan di bank).

"Sejak awal konsep biaya living cost adalah biaya hidup selama jemaah haji melaksanakan Ibadah haji," papar dia.

Namun, lanjutnya, dengan kebutuhan konsumsi berupa makan dan minum jamaah haji telah disediakan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, berupa makan tiga kali sehari, maka urusan konsumsi jamaah menjadi lebih ringan. 

Biaya yang dikeluarkan paling untuk membeli tambahan bumbu-bumbu, makanan kecil, kurma, buah-buahan tambahan, serta keperluan kecil lainnya. Menjadi makin hemat bila sejak awal, jamaah telah dengan cermat membawa barang-barang tertentu dari Tanah Air, baik berupa bumbu-bumbu, makanan kecil, barang-barang lainnya yang diperlukan selama berhaji. 

"Barang-barang tadi secara harga jelas lebih murah dibeli di Indonesia ketimbang di Saudi," katanya.

Tahun ini, living cost jamaah haji berjumlah 750 riyal atau setara dengan hampir Rp 3 juta. Tahun sebelumnya, living cost yang diserahkan sebesar 1.500 riyal atau setara Rp 6 juta. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement