REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA – Lembaga riset asal Australia, Lowy Institute, mengungkapkan China telah menjadi mitra dan investor pembangunan terbesar di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara yang paling besar menerima investasi serta pembiayaan pembangunan dari Beijing.
Menurut Southeast Asia Aid Map yang dirilis Lowy Institute pada Ahad (4/6/2023), wilayah Asia Tenggara menerima sekitar 28 miliar dolar AS per tahun dalam pembiayaan pembangunan resmi antara 2015 dan 2021. Sekitar 5,5 miliar dolar AS datang dari China setiap tahunnya. Dari total dana yang digelontorkan Beijing, sekitar 75 persen di antaranya berupa biaya pembangunan infrastruktur, mencakup proyek transportasi, energi, komunikasi, serta air dan sanitasi.
Penelitian Lowy Institute mengungkapkan, pada 2015-2021, China mengucurkan dana pembangunan sebesar 37,9 miliar dolar AS di Asia Tenggara. Indonesia menjadi negara penerima teratas, yakni sebesar 15,1 miliar dolar AS. Laos menempati urutan kedua dengan 6,48 miliar dolar AS. Sementara posisi ketiga ditempati Malaysia dengan 4,96 miliar dolar AS.
Selain tiga negara tersebut, dana pembangunan China juga mengalir ke Kamboja (4,27 miliar dolar AS), Vietnam (2,37 miliar dolar AS), Thailand (2,27 miliar dolar AS), Myanmar (2,23 miliar dolar AS), Filipina (262 juta dolar AS), dan Timor Leste (26,5 juta dolar AS).
Menurut Lowy Institute, transparansi dalam pemberian bantuan ke daerah-daerah seperti Asia Tenggara semakin penting di tengah persaingan geopolitik untuk mendapatkan pengaruh. "Ketegangan geostrategis yang semakin intensif antara China dan pemerintahan Barat juga telah melihat peningkatan fokus dalam penggunaan pembiayaan pembangunan, khususnya di bidang infrastruktur, sebagai sarana untuk bersaing guna mendapatkan pengaruh," ujar Direktur Pusat Pengembangan Indo-Pasifik Lowy Institute Roland Rajah, dikutip laman South China Morning Post.
"Hal ini membuat pemahaman tentang skala dan kontur keuangan pembangunan resmi di Asia Tenggara menjadi perhatian penting bagi pemerintah di kawasan ini serta mitra pembangunan mereka," kata Rajah menambahkan.
Menurut Lowy Institute, terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan ekonomi Asia Tenggara, kawasan tersebut masih membutuhkan pembiayaan besar yang belum terpenuhi, terutama untuk infrastruktur, pembangunan manusia, serta merespons perubahan iklim. "Ini berarti kerja sama pembangunan yang dibiayai oleh berbagai bentuk pembiayaan pembangunan resmi – hibah, pinjaman, dan bentuk bantuan lainnya – memiliki peran penting untuk dimainkan," ungkapnya.
Indonesia, yang ekonominya bernilai 1,3 triliun dolar AS dan merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, misalnya, kontribusi pembiayaan pembangunannya dari negara lain disebut masih mencapai lebih dari 10 persen dari total APBN. Negara seperti Malaysia dan Thailand juga menerima bantuan keuangan pembangunan substansial, terutama dari China.
Di Indonesia, China membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Beijing memiliki proyek serupa di Thailand, yakni Kereta Cepat Thailand-China. Sementara di Malaysia, China mempunyai proyek pembangunan East Coast Rail Link. Negara lain yang menerima bantuan pembangunan dari China adalah tetangganya Laos dan Kamboja. "Ketika kekuatan Cina tumbuh, Beijing telah mengadvokasi restrukturisasi sistem tata kelola global agar lebih selaras dengan kepentingan dan nilai-nilainya," kata Lowy Institute dalam laporannya.
"Sebagai bagian dari upaya ini, China meluncurkan beberapa prakarsa skala besar, seperti Belt and Road Initiative. Tujuannya adalah untuk memposisikan negara tersebut sebagai penyedia barang publik global, dengan menawarkan sumber daya dan solusi China untuk mengatasi tantangan pembangunan," ungkap Lowy Institute.
Setelah China, pemberi pembiayaan pembangunan terbesar di Asia Tenggara adalah Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia. Mereka bersaing dengan Negeri Tirai Bambu untuk menjadi pemodal utama di kawasan tersebut. China juga menghadapi persaingan dari Jepang, Korea Selatan, dan Eropa dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Sementara Amerika Serikat dan Australia adalah pesaing yang lebih kecil dalam aspek bantuan ini.
Southeast Asia Aid Map yang dirilis Lowy Institute mencakup data lebih dari 100 ribu proyek yang dilakukan oleh 97 mitra pembangunan dan bernilai sekitar 200 miliar dolar AS dalam pembiayaan pembangunan.