Senin 05 Jun 2023 23:22 WIB

Sentimen Anti-Gay Meluas, Pelaku LGBTQ+ di Uganda Lari Ke Luar Negeri

Uganda menetapkan hukuman mati untuk pelaku homoseksual.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Uganda Yoweri Museveni berbicara pada Perayaan HUT Kemerdekaan ke-60, di Kampala, Uganda pada 9 Oktober 2022.
Foto: AP Photo/Hajarah Nalwadda, File
Presiden Uganda Yoweri Museveni berbicara pada Perayaan HUT Kemerdekaan ke-60, di Kampala, Uganda pada 9 Oktober 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Peter membolak-balik pesan panik dari teman-temannya di Uganda. Wanita transgender ini relatif aman di negara tetangga, Kenya. Namun teman-teman Peter merasa terancam oleh undang-undang anti-gay terbaru di Uganda yang menetapkan hukuman mati untuk pelaku homoseksual.

Orang-orang LGBTQ+ di Uganda mengalami ketakutan. Mereka mencari cara untuk keluar dari negara mereka seperti yang dilakukan Pretty Peter. Sejak undang-undang anti-gay disahkan, beberapa orang LGBTQ+ memilih berdiam di rumah karena takut menjadi sasaran.

Baca Juga

 “Saat ini, homofobia telah menerima validasi dari pemerintah untuk menyerang orang. Teman-teman saya telah melihat perubahan sikap di antara tetangga mereka dan sedang berusaha mendapatkan surat-surat dan uang transportasi untuk mencari perlindungan di Kenya,” kata Peter.

Homoseksualitas telah lama dianggap ilegal di Uganda di bawah undang-undang era kolonial yang mengkriminalisasi aktivitas seksual.  Hukuman untuk pelanggaran itu adalah penjara seumur hidup. Pretty Peter melarikan diri dari Uganda pada 2019 setelah polisi menangkap 150 orang di sebuah klub gay dan mengarak mereka di depan media, sebelum menuntut mereka atas gangguan publik.

Undang-undang baru yang ditandatangani oleh Presiden Yoweri Museveni telah dikecam secara luas oleh para aktivis hak asasi manusia. Pada April, Museveni mengembalikan rancangan undang-undang (RUU) tersebut ke majelis nasional, untuk meminta perubahan yang akan membedakan antara mengidentifikasi sebagai LGBTQ+ dan terlibat dalam tindakan homoseksual.

Namun, undang-undang baru menetapkan hukuman mati untuk homoseksualitas. Hukuman mati juga berlaku untuk tindakan tertentu yang didefinisikan sebagai kasus hubungan seksual yang melibatkan orang terinfeksi HIV, serta dengan anak di bawah umur dan kategori orang rentan lainnya.

Seorang tersangka yang dihukum karena percobaan homoseksualitas dapat dipenjara hingga 14 tahun. Sementara pelaku yang mempromosikan homoseksualitas dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Undang-undang baru adalah hasil dari upaya bertahun-tahun oleh pembuat undang-undang, pemimpin gereja, dan lainnya. Puluhan mahasiswa pada Rabu (31/5/2023) berbaris ke ruang parlemen di Ibu Kota, Kampala, untuk berterima kasih kepada anggota parlemen karena telah memberlakukan RUU anti-gay tersebut

RUU baru diperkenalkan di majelis nasional pada Februari, beberapa hari setelah Gereja Inggris mengumumkan keputusannya untuk memberkati pernikahan sipil pasangan sesama jenis. Hal ini membuat marah para pemimpin agama di banyak negara Afrika.

Homoseksualitas dikriminalisasi di 30 dari 54 negara Afrika. Beberapa orang Afrika menilai homoseksual sebagai perilaku yang berasal dari luar negeri dan bukan orientasi seksual.

Ulama Anglikan terkemuka di Uganda, Uskup Agung Stephen Kaziimba secara terbuka mengatakan, dia tidak lagi mengakui otoritas Uskup Agung Canterbury sebagai pemimpin spiritual persekutuan Anglikan. Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah RUU itu ditandatangani, Kaziimba berbicara tentang kerja keras anggota parlemen dan presiden dalam memberlakukan undang-undang tersebut. Namun, dia menambahkan, hukuman penjara seumur hidup lebih baik daripada hukuman mati untuk pelanggaran homoseksual paling serius.

Kekhawatiran warga Uganda terutama para orang tua terhadap perilaku LGBTQ+ semakin meluas. Pada Januari, sebuah menara di taman anak-anak di Kota Entebbe yang dicat dengan warna pelangi harus dihapus dan dicat ulang setelah penduduk mengatakan, mereka melihat warna pelangi punya keterkaitan dengan LBTGQ+. Wali Kota Fabrice Rulinda mengatakan, pihak berwenang perlu mengekang segala kejahatan yang akan merusak pikiran anak-anak.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement