REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menilai ada alternatif lain untuk mengukur mutu sekolah daripada penerapan Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD).
Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud) Nadiem Makarim meminta DIY untuk menghapus ASPD karena dinilai masih menggunakan kurikulum lama yang kurang sinkron terhadap Kurikulum Merdeka.
Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPP UMY) Endro Dwi Hatmanto menjelaskan ada beberapa situasi kontraproduktif dari penerapan asesmen sumatif seperti ASPD dalam konteks Kurikulum Merdeka.
Pertama, implementasi ASPD dapat mendorong pendidikan yang terfokus pada tes. Sekolah mungkin akan cenderung mengarahkan upaya mereka pada persiapan ujian daripada mengembangkan keterampilan dan pemahaman yang lebih mendalam.
"Ini dapat mengabaikan aspek-aspek penting lainnya dalam pendidikan, seperti kreativitas, kecerdasan emosional, dan keterampilan sosial," kata Endro kepada Republika, Selasa (6/6/2023).
Kedua, tekanan berlebihan pada siswa. Dalam situasi yang penuh tekanan akibat ASPD, siswa mungkin merasa tertekan dan stres yang berlebihan. Hal ini dapat berdampak negatif pada student wellbeing atau kesejahteraan mental dan emosional mereka. Selain itu, sistem seleksi berbasis tes seringkali mengabaikan potensi siswa yang mungkin tidak terungkap melalui penilaian standar, mengabaikan keberagaman bakat dan minat siswa.
Ketiga, kurangnya data yang komprehensif. Endro menilai, ASPD mungkin tidak memberikan gambaran yang komprehensif tentang kualitas pendidikan di suatu sekolah. Terkadang, fokus pada tes tertulis dapat mengabaikan aspek penting lainnya, seperti pembelajaran praktis, kegiatan ekstrakurikuler, kualitas pengajaran, dan keterlibatan siswa.
"Dalam hal ini, ASPD mungkin kurang bisa memenuhi fungsi pemetaan yang seharusnya menyediakan gambaran holistik tentang pendidikan," katanya.
Sebagai alternatif untuk mengukur mutu sekolah, lanjut Endro, ada beberapa strategi alternatif yang bisa dilakukan. Pertama, mengadopsi pendekatan evaluasi berkelanjutan yang melibatkan pengamatan, pengukuran, dan penilaian terus-menerus. Evaluasi ini dapat melibatkan penggunaan indikator kualitas pendidikan yang komprehensif, seperti tingkat kelulusan siswa, tingkat kelulusan siswa dengan nilai tinggi, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, kualitas pengajaran, dan kepuasan siswa, orang tua, dan guru.
Kedua, penilaian formatif. Fokus pada penilaian formatif yang berkelanjutan untuk memberikan umpan balik yang terus-menerus kepada siswa dan pendidik. Penilaian formatif dapat mencakup tes formatif, proyek, presentasi, dan portofolio siswa yang memperlihatkan perkembangan mereka selama waktu tertentu.
"Pendekatan ini mendorong pengembangan keterampilan belajar seumur hidup dan peningkatan kontinu, bukan hanya penilaian satu kali," paparnya.
Ketiga, pemantauan kualitas pengajaran. Melibatkan pemantauan langsung terhadap proses pembelajaran di kelas dan kualitas pengajaran oleh administrator pendidikan atau tim pengawas. Observasi kelas dan umpan balik yang disampaikan kepada guru dapat memberikan wawasan tentang metode pengajaran yang efektif dan area yang perlu ditingkatkan.
Keempat, evaluasi 360 derajat, mengumpulkan umpan balik dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk siswa, orang tua, guru, dan staf sekolah. Survei kepuasan dapat dilakukan secara berkala untuk mengevaluasi persepsi mereka tentang kualitas pendidikan, keamanan, iklim sekolah, keterlibatan siswa, dan dukungan yang diberikan.
Kelima, pengukuran hasil belajar. Fokus pada pengukuran hasil belajar yang mencerminkan pemahaman dan penerapan pengetahuan serta keterampilan siswa.
"Pengukuran ini dapat melibatkan proyek, penugasan, atau ujian yang dirancang untuk menguji pemahaman mendalam, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan praktis siswa," katanya.