REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ini kisah tahun 2016. Ketika itu, pria yang pernah menjabat Ketua Umum PBNU tersebut menghadiri syukuran 90 tahun Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.
Kiai Hasyim duduk bersama Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH Hasan Abdullah Sahal, (alm) KH Syamsul Hadi Abdan, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, mantan Wakil Menlu Abdurrahman Fakhir, dan sejumlah tokoh.
Di hadapan ribuan hadirin, Kiai Hasyim bercerita, pada zaman dirinya masih muda (sekitar tahun 60-70-an) banyak orang beradu argumen soal apakah sholah Shubuh harus dengan membaca doa qunut atau tidak.
Bahkan ada dalam sebuah keluarga, suaminya membaca doa qunut, sedangkan dari pihak istri tidak membaca doa qunut. Mereka kemudian saling berbeda pandangan, saling berdebat. “Repot,” kata Kiai Hasyim.
Namun, keadaan seperti itu, menurut dia, sudah tidak terjadi lagi saat ini. Sekarang ini sudah tidak ada lagi perdebatan apakah sholat shubuh harus baca doa qunut atau tidak. Kenapa begitu? “Karena sudah tidak ada lagi yang sholat shubuh,” kata Kiai Hasyim yang disambut gelak tawa hadirin yang berafiliasi kepada ormas NU, Muhammadiyah, dan sejumlah ormas Islam lainnya.
Guyon lainnya
Dalam kesempatan itu, Kiai Hasyim melontarkan sejumlah guyonan yang menyegarkan pikiran. Selain soal qunut, Kiai Hasyim juga bercerita tentang profesor. Gelar profesor merupakan kehormatan luar biasa dalam dunia akademik. Orang yang menyandang gelar tersebut tentu dikenal banyak ilmu, berwawasan luas, sudah melakukan banyak penelitian.
Profesor sudah pasti menjadi rujukan akademik di berbagai institusi pendidikan. Pandangan dan pemikirannya didengar banyak orang. Dianggap sebagai orang pintar dan cerdas.
“Tapi begitu si profesor pulang ke rumah, disentak bojo, mendadak jadi bodoh,” kata Kiai Hasyim lagi lagi disambut gelak tawa hadirin.
Kiai Hasyim Muzadi dikenal sebagai ulama dan inspirasi dialog perdamaian dan peradaban. Semasa hidupnya dia menghabiskan waktu untuk berdakwah antarnegara. Dia wafat pada tahun 2017. Jenazahnya dimakamkan di pesantren yang dirintisnya, Al-Hikam, Depok.