Rabu 07 Jun 2023 14:32 WIB

BNPB: 112 Karhutla Sudah Terjadi di Indonesia

Sebanyak 112 karhutla sudah terjadi di Indonesia hingga 1 Juni.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Nora Azizah
Petugas pemadam kebakaran dan relawan PMI melakukan proses pendinginan lahan gambut yang terbakar.
Foto: ANTARA/Ario Tanoto
Petugas pemadam kebakaran dan relawan PMI melakukan proses pendinginan lahan gambut yang terbakar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, hingga 1 Juni 2023 sudah ada 112 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Tanah Air. Menanggapi itu, dia menyebut ada tujuh wilayah yang akan mendapatkan perhatian khusus dari BNPB.

“Meliputi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Hingga saat ini, status siaga darurat bencana karhutla dan kekeringan telah ditetapkan di seluruh provinsi tersebut per 29 Mei 2023,” kata Suharyanto dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu (7/6/2023).

Baca Juga

Dia menilai, ketujuh provinsi prioritas itu memang menjadi langganan bencana karhutla setiap tahunnya. Sebab itu, Suharyanto berjanji akan turun langsung ke lapangan untuk memastikan penanganan karhutla berjalan dengan baik sehingga dampak terburuk dapat diminimalisir.

“BNPB akan fokus ke kebakaran hutan dan lahan. Karena prediksi BMKG di tahun 2023 ini kemaraunya lebih kering. Diprediksi potensi kejadian karhutlanya lebih besar dari tiga tahun terakhir,” jelas dia.

Terpisah, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita mengatakan, berdasarkan pemantauan hingga akhir Mei lalu, intensitas El Nino semakin menguat. Di waktu yang sama, pihaknya juga mendeteksi adanya Indian Ocean Dipole (IOD) indeks yang terus menguat ke arah positif.

“Artinya ini seperti fenomena di 2019, di mana mengakibatkan kondisi lebih kering di wilayah Indonesia,” kata Dwikorita dalam konferensi pers daring di Jakarta.

Dia menegaskan, kondisi penguatan El Nino dan IOD Positif terjadi secara bersamaan. Menurut Dwikorita, El Nino yang terjadi dikontrol oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik.

“Sedangkan IOD positif dikontrol oleh suhu muka air laut di wilayah Samudra Hindia. Keduanya saling menguatkan kondisi tersebut (keringnya wilayah Indonesia). Dan inilah yang perlu disampaikan perkembangannya,” jelas dia.

Dia memerinci, berdasarkan data pengamatan suhu muka air laut di Samudra Pasifik, La Nina memang telah berakhir pada Februari 2023 lalu. Lebih lanjut, pada Maret-April 2023, indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) berada pada fase netral.

“Ini mengindikasikan tidak adanya gangguan iklim dari Samudra Pasifik pada periode Maret-April,” ucapnya.

Namun demikian, saat memasuki Mei hingga awal Juni ini, disebutnya ada fenomena terkait suhu muka air laut di Samudra Pasifik yang berubah dan mengarah ke El Nino di Juni 2023. Menurut dia, semakin menghangat kondisi Samudra Pasifik, anomali temperatur di Pasifik pun kian meningkat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement