Kamis 08 Jun 2023 10:32 WIB

Rekomendasi FKUB Diusulkan Dihapus, Ini Syarat Pendirian Rumah Ibadah dalam SKB 2 Menteri

Pendirian rumah ibadah harus memenuhi sejumlah syarat dalam SKB 2 Menteri

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti, Imas Damayanti   / Red: Nashih Nashrullah
Warga melintasi Gereja Pantekosta Bukit Zaitun (kiri) dan Masjid Dakwah Wanita (kanan) di Kendari, Sulawesi Tenggara (Ilustrasi). Pendirian rumah ibadah harus memenuhi sejumlah syarat dalam SKB 2 Men
Foto: ANTARA/Jojon
Warga melintasi Gereja Pantekosta Bukit Zaitun (kiri) dan Masjid Dakwah Wanita (kanan) di Kendari, Sulawesi Tenggara (Ilustrasi). Pendirian rumah ibadah harus memenuhi sejumlah syarat dalam SKB 2 Men

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap pemeluk agama yang ingin mendirikan rumah ibadah pemerintah telah membuat peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

Dalam peraturan tersebut disebutkan syarat-syarat pendirian rumah ibadah yang tertulis di Bab IV Pasal 14 hingga 17. Berikut syarat pendirian rumah ibadah yang disebutkan dalam SKB dua menteri: 

Baca Juga

Pendirian rumah ibadah harus didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan atau desa. 

Ketika mendirikan rumah ibadah, pemeluk agama rumah ibadah tersebut harus tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

Ketika komposisi jumlah penduduk di kelurahan atau desa tidak terpenuhi maka pertimbangan komposisi jumlah penduduk dapat menggunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten ataukota atau provinsi.

Setelah syarat komposisi penduduk terpenuhi, syarat selanjutnya adalah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung serta persyaratan khusus meliputi: 

Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.

Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.

Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota. 

Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten atau kota. Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Ketika rekomendasi tertulis FKUB kabupaten atau kota belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

Selanjutnya permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati atau wali kota untuk memperoleh IMB rumah ibadah. 

Bupati atau wali kota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan.

Jika ada perubahan rencana tata ruang wilayah maka Pemerintah daerah harus memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan. 

Baca juga: Mengapa Tuyul Bisa Leluasa Masuk Rumah? Ini Beberapa Penyebabnya

Pada rapat dengar pendapat dengan DPR-RI Senin (5/6/2023) lalu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan saran memangkas izin pendirian rumah ibadah. Sebelumnya, pendirian rumah ibadah membutuhkan rekomendasi dari lebih satu instansi.

"Dulu itu ada SKB (surat keputusan bersama) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri). (Isinya) bahwa ada dua rekomendasi apabila hendak mendirikan rumah ibadah, yaitu dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dan Kemenag. Sekarang kami menghapus satu rekomendasi, sehingga cukup dari Kemenag dan ini kami ajukan dalam Perpres," kata  

Berkaca dari banyaknya konflik pendirian rumah ibadah, Yaqut mengakui bahwa semakin banyak stakeholder yang memberikan rekomendasi izin pendirian rumah ibadah, maka semakin sulit pembangunan terlaksana. Menag menanggapi hasil survei yang dilakukan Setara Institute di lima kota, hasilnya intoleransi dan anti-Pancasila masih terasa.

Menag mengatakan, meski rilis tersebut tidak bisa digeneralisasi secara nasional, namun ia mengakui bahwa intoleransi masih menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Maka hasil survey tersebut dinilai sebagai peringatan dini secara pribadi bagi Kemenag sebagai masinis lokomotif institusi agama di Indonesia.          

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement