REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) memandang internet, Covid-19 dan digitalisasi telah membuat industri keuangan menjadi sebuah ekosistem yang saling terhubung antara nasabah, sesama pelaku industri, dan institusi pemerintahan. Data atau akses yang sudah terlanjur bocor mungkin saja dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk meretas pihak lainnya.
Dalam kondisi hyperconnected seperti sekarang, insiden siber dapat menimbulkan efek kejut dan berisiko sistemik terhadap stabilitas industri keuangan di Indonesia. Karena itu, Mastel menyelenggarakan Breakfast Forum bertajuk "Tantangan Masa Depan Keamanan Siber bagi Industri Keuangan" di Hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno mengatakan forum ini merupakan wadah untuk mendengar tantangan keamanan siber yang dihadapi oleh industri dan mencari solusi yang tepat guna terkait perlindungan data serta nasabah industri keuangan. Agenda Breakfast Forum tidak hanya melibatkan komponen masyarakat, namun juga melibatkan pihak-pihak yang relevan seperti perwakilan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Pertahanan, dan lebih dari 10 panelis dari berbagai asosiasi perusahaan jasa keuangan di Indonesia.
"Manajemen risiko siber untuk stabilitas industri keuangan, kami melibatkan BI, OJK, Kementerian Pertahanan, praktisi dan asosiasi," kata Sarwoto Atmosutarno, di sela acara.
Menurut dia, forum ini juga turut menghadirkan perwakilan dari Crowe Global, praktisi berskala internasional untuk berbagi perspektif dan berpengalaman selama lebih dari 11 tahun mengevaluasi keamanan siber di berbagai institusi keuangan di Indonesia. "Risiko siber adalah risiko yang sangat dinamis. Tantangan organisasi ke depan lebih ke arah optimalisasi sumber daya terbatas atau mahal agar efektif dan efisien dalam melindungi aset atau layanan yang paling bernilai," ujarnya.
Yang menarik, lanjut Sarwoto, tak sekadar forum biasa, Mastel telah mengkurasi nara sumber yang terlibat di forum ini guna mewujudkan komitmen bersama. Baik di level individu maupun organisasi perlu mengevaluasi peran dan kesiapan terkait perlindungan data serta keamanan sistem informasi. "Hal ini menghindari implikasi sistemik dari eksploitasi kelemahan atau celah keamanan di salah satu pihak," imbuhnya.
Ketua OJK periode 2017–2022, Wimboh Santoso, dalam sambutannya mengatakan risiko siber tidak mudah dan selalu berevolusi secara dinamis. Hal ini berbeda dengan risiko lain di industri jasa keuangan.
"Untuk meminimalisasi risiko siber perlu kerja sama seluruh pemangku kepentingan, baik nasabah, pelaku jasa keuangan dan pihak ketiga harus selalu waspada dalam menjaga transaksi, menjalankan edukasi dan sosialisasi," ujar Wimboh.