REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Negara-negara Uni Eropa (UE) telah membuat terobosan dalam pembicaraan migrasi pada Kamis (8/6/2023). Mereka menyepakati rencana untuk berbagi tanggung jawab bagi para migran yang memasuki Eropa tanpa izin.
Permasalahan migran yang memasuki kawasan Eropa adalah akar dari salah satu krisis politik terlama di blok itu. Setelah seharian bernegosiasi di Luksemburg, para menteri dalam negeri UE menyetujui kesepakatan bersama.
Anggota UE akan menyeimbangkan kewajiban bagi negara-negara tempat sebagian besar migran tiba. Tindakan ini untuk memproses dan mengajukan persyaratan anggota lain untuk memberikan dukungan, baik secara finansial atau dengan menampung pengungsi.
Menteri Migrasi Swedia, Maria Malmer Stenergard, menggambarkan kesepakatan itu sebagai langkah bersejarah dan sukses besar. Dia menyatakan, keterkejutannya bahwa perpecahan yang telah lama berlangsung telah diatasi.
"Sejujurnya, saya tidak terlalu percaya saya akan duduk di sini mengatakan ini, tapi inilah kami," kata Stenergard yang negaranya saat ini memegang jabatan kepresidenan bergilir UE dan menengahi perjanjian itu.
Stenergard mengatakan, isi kesepakatan itu merupakan pilar utama reformasi sistem suaka UE. "Merupakan kunci keseimbangan yang baik antara tanggung jawab dan solidaritas," ujarnya.
Stenergard mengatakan, bahwa proposal Swedia untuk sistem negara-negara yang tidak ingin menerima migran dapat membayar uang sebagai gantinya. Jumlahnya mencapai 20.000 euro per migran.
Sistem suaka Eropa runtuh delapan tahun lalu setelah lebih dari satu juta orang masuk. Ketika itu kapasitas penerimaan yang kewalahan di Yunani dan Italia, dalam proses yang memicu salah satu krisis politik terbesar di UE.
Negara-negara anggota UE pun telah berselisih sejak itu tentang negara yang harus bertanggung jawab atas kedatangan tanpa izin tersebut. Mereka berdebat tentang sikap anggota lain yang wajib membantu mengatasinya atau tidak.
Meski telah muncul kesepakatan dalam masalah tersebut, tidak semua negara mendukungnya. Namun hanya dukungan mayoritas yang memenuhi syarat yang diperlukan dalam menjalankan rencana itu. Kira-kira diperlukan dua pertiga dari negara-negara anggota yang merupakan sekitar dua pertiga dari total populasi UE yang berjumlah 450 juta orang.
Republik Ceko meminta untuk dikeluarkan dari “klausul solidaritas” migran. Pengajuan itu mengingat jumlah pengungsi yang sudah ditampungnya dari Ukraina.
Sedangkan Malta abstain, tetapi keberatan dari Italia dan Yunani diatasi dalam putaran pembicaraan yang terlambat. Kedua negara itu yang paling terpukul pada masa lalu dalam persoalan migran.
Komisaris Urusan Dalam Negeri Ylva Johansson merasa optimis tentang negosiasi dengan parlemen, meskipun majelis mendesak relokasi wajib. "Kami masih memiliki beberapa langkah untuk dilakukan sampai kami benar-benar menyelesaikan ini, tetapi saya pikir jelas bahwa kami telah membuat kemajuan besar dalam hal membangun kepercayaan," katanya.
Pakta tersebut akan membentuk sikap negosiasi 27 negara UE dalam pembicaraan dengan Parlemen Eropa. Lembaga itu mengharuskan negara-negara untuk menyusun rencana dukungan migran tahunan yang terperinci untuk membantu negara-negara anggota garis depan dan relokasi wajib pengungsi.
Anggota parlemen UE telah memperingatkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk memecahkan teka-teki sebelum pemilu di seluruh UE dalam satu tahun. “Jika kita melewatkan kesempatan ini untuk memperbaikinya, saya rasa kita tidak akan memiliki kesempatan lain,” kata anggota parlemen Sosialis Spanyol dan pemimpin kebijakan migrasi Juan Fernando Lopez Aguilar pada April.