Membawa rancangan peraturan pemerintah tentang penangkapan ikan terukur (PIT) para peneliti mendatangi nelayan di Maluku. Ada tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang harus mereka datangi, yaitu WPP 714, WPP 715, dan WPP 718. Penelitian merupakan hasil kolaborasi perguruan tinggi di Maluku dan Yayasan Econusa.
Para peneliti harus terlebih dulu mengenalkan kebijakan PIT yang tertuang dalam rancangan peraturan pemerintah itu. “Perlu waktu sebulan untuk berdiskusi dengan nelayan mengenai PIT,” jelas Muhammad Zia Ulhaq Payapo, peneliti di WPP 714 (Seram Selatan, Kabupaten Maluku Tengah), saat pemaparan hasil penelitiannya, di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Setelah itu diajukan berbagai pertanyaan, termasuk setuju atau menolak PIT itu. Peneliti muda dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Maluku itu melakukan penelitian pada Mei-Agustus 2022 di empat kecamatan dengan metode purposive sampling.
WPP 714 yang berada di perairan Banda merupakan wilayah penangkapan ikan terbatas, kata Zia Ulhaq, nelayan cenderung menyetujui kebijakan PIT. Prof La Sara PhD, rektor Institut Teknologi Kelautan Buton, Sulawesi Tenggara, menyebut, di 1970-1980-an, berbagai kapal besar mencari ikan di wilayah ini, termasuk kapal-kapal berbendera Jepang.
Kini penangkapan ikan tuna di perairan ini masih berlangsung. “Ikan tuna 20 ekor per kilogram pun ditangkap. Ini bayi tuna,” kata La Sara.
Karena itulah, kata Lazara, PIT menjadi penting untuk menjaga sumber dayat laut. Tidak adanya peraturan tangkap akan membuat bayu tuna akan terus menerus ditangkap nelayan.Karena tak ada lagi PPI, maka hasil tangkap di WPP 714 tidak tercatat. Menurut Lazara, banyak nelayan yang menjualnya saat masih di tengah laut.
Perikanan tuna di Maluku selama ini merupakan perikanan skala kecil, dengan kapal penangkap di bawah 10 gross ton (GT). Tapi, keberadaan kapal-kapal nelayan tidka tercatat di Dinas Perikanan.
Nelayan di WPP 715, menurut peneliti Miftah H Makatta, sebanyak 70 persen tidak setuju PIT dan 30 persen setuju PIT. WPP 715 mencakup Laut Seram, Laut Arafura, dan Laut Banda yang memiliki produksi ikan tuna berlimpah, tetapi rentan konflik.
Pada tahun 2018 pernah terjadi konflik nelayan kecil (kapal berukuran di bawah 5 GT) dengan perusahaan penangkap ikan dari Bitung yang memiliki kapal besar. Nelayan membakar rumpun laut milik perusahaan itu. Nelayan merasa, wilayah mereka diambil alih oleh perusahaan itu. “Polres tak bisa tangkap, karena ribuan nelayan mendatangi Polres mengaku sebagai pelaku pembakaran,” kata Miftah, peneliti dari Universitas Muhammadiyah Maluku.
Penelitian di WPP 718 dilakukan di Desa Samang dan Desa Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru. “Di Desa Benjina, 70 persen nelayan tidak setuju dengan kebijakan penangkatan ikan terukur, sedangkan di Desa Samang, nelayan menolaknya,” ungkap Saiful, peneliti dari Universitas Pattimura Maluku.
Prof La Sara menyatakan, hasil penelitian ini perlu penelitian lanjutan. Perlu diketahui lagi bagaimana sikap masyarakat, setelah rancangan peraturan pemerintah mengenai PIT itu sudah ditetapkan sebagai peraturan pemerintah. Hasil penelitian bisa menjadi bahan kajian dalam penyusunan peraturan menterinya.
Priyantono Oemar