REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memutuskan untuk menunda pertemuan tentang rencana pembangunan pemukiman yang membagi wilayah pendudukan Tepi Barat menjadi dua bagian. Pertemuan tersebut dijadwalkan minggu depan dan membahas rencana pemukiman yang sangat kontroversial di wilayah E1.
Selama lebih dari 20 dekade, beberapa pemerintahan Demokrat dan Republik Amerika Serikat (AS) telah menekan Israel untuk tidak membangun pemukiman di wilayah antara Yerusalem dan pemukiman Yahudi Maale Adumim di Tepi Barat. Membangun pemukiman Israel di daerah ini akan memisahkan Tepi Barat dari kota suci Yerusalem, sehingga membuat wilayah Palestina terpisah. Hal ini akan membuat Palestina menjadi lebih sulit untuk mendirikan negara masa depan.
"Baru-baru ini, pemerintahan (Presiden AS Joe) Biden dan beberapa negara Uni Eropa telah menyatakan keprihatinannya kepada Netanyahu tentang rencana pembangunan pemukiman di E1. Mereka (AS dan Uni Eropa) meminta untuk dibatalkan," kata laporan Axios, Sabtu (10/6/2023).
Keputusan Netanyahu menunda pembangunan pemukiman di wilayah E1 membuat para pemukim Yahudi marah. Penundaan ini karena Netanyahu tampaknya berusaha meredakan ketegangan dengan pemerintahan Biden dengan harapan dia akan menerima undangan untuk bertemu dengan presiden AS di Gedung Putih. Pada Maret, Presiden Biden mengatakan bahwa Netanyahu tidak akan mendapatkan undangan ke Gedung Putih dalam waktu dekat.
Perdana Menteri Otoritas Palestina, Mohammad Shtayyeh pada Rabu (7/6/2023) mengatakan, rakyat Palestina menghadapi agresi Israel dan perang berkelanjutan dalam berbagai bentuk. Israel telah merampas hak-hak dasar rakyat Palestina.
"Pendudukan Israel merampas hak-hak paling dasar rakyat kami, membatasi pergerakan dengan pos pemeriksaan dan tembok militer, menyangkal hak kami untuk memilih, merebut tanah kami, menghancurkan rumah dan menggusur penduduk," kata Shtayyeh.