REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mesir telah mengumumkan kebijakan baru yang mewajibkan semua warga negara Sudan untuk mendapatkan visa sebelum melintasi perbatasan, saat gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat dan Arab Saudi berlaku di Ibu Kota Sudan, Khartoum. Kementerian Luar Negeri Mesir memberlakukan peraturan baru pada Sabtu (10/6/2023) sebagai tindakan keras terhadap kegiatan ilegal termasuk penipuan.
Lebih dari 200 ribu warga Sudan telah memasuki Mesir. Kebanyakan dari mereka masuk melalui penyeberangan darat.
Warga Sudan melarikan diri sejak pertempuran pecah dua bulan lalu antara tentara, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan kelompok paramiliter, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Daglo. Bentrokan hebat itu telah menewaskan lebih dari 1.800 orang, dan menelantarkan lebih dari 1,9 juta orang.
Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan, prosedur visa baru bertujuan untuk mengatur masuknya warga negara Sudan ke Mesir setelah lebih dari 50 hari krisis di negara mereka. Persyaratan baru tidak dirancang untuk mencegah atau membatasi masuknya warga negara Sudan. Tetapi untuk menghentikan aktivitas ilegal oleh individu dan kelompok di sisi perbatasan Sudan, yang memalsukan visa masuk untuk mendapatkan keuntungan
“Mesir telah menyambut lebih dari 200.000 warga Sudan sejak awal krisis, menambah sekitar lima juta warga Sudan yang sudah ada sebelum perang," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.
Kementerian Luar Negeri Mesir menekankan, konsulatnya di Sudan telah dilengkapi dengan perangkat elektronik yang diperlukan untuk melaksanakan peraturan baru dengan cara yang tepat, cepat dan aman. Mereka juga memastikan masuknya warga Sudan secara teratur.
Orang-orang yang melakukan perjalanan ke perbatasan Mesir-Sudan mengeluhkan kondisi yang buruk dan waktu tunggu yang lama. Pada Sabtu, dua orang yang mencoba melintasi perbatasan Ashkeit mengatakan, mereka ditolak masuk karena aturan baru telah berlaku.
"Kami menghabiskan dua malam di wilayah netral dan sekarang mereka mengembalikan kami. Beberapa orang menolak untuk pergi," kata Dr Sundus Abbas, berbicara kepada Reuters melalui telepon dari pos pemeriksaan antarnegara.
Aturan baru diberlakukan saat gencatan senjata 24 jam mulai berlaku di Khartoum, sehingga memberikan jendela untuk bantuan kemanusiaan dan memberikan jeda kepada publik dari pertempuran sengit. Gencatan senjata sebelumnya telah memungkinkan beberapa akses kemanusiaan tetapi lembaga bantuan melaporkan masih terhalang oleh pertempuran, kendali birokrasi dan penjarahan. Badan bantuan medis Médecins Sans Frontières mengatakan, stafnya telah dihadang oleh tentara RSF dan diwajibkan untuk membuat pernyataan yang kemudian diedarkan oleh pasukan.
Tentara Sudan dan RSF berselisih karena rencana untuk mengintegrasikan pasukan mereka. Hal ini mengatur kembali rantai komando mereka sebagai bagian dari transisi menuju pemerintahan sipil empat tahun setelah pemberontakan populer menyingkirkan diktator Presiden Omar al-Bashir.