REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum merokok dalam agama Islam memiliki pendapat yang beragam di kalangan ulama, ada yang membolehkan (mubah), menghukumi makruh, dan ada yang mengharamkan. Namun, mayoritas ulama sepakat merokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan dapat membahayakan individu dan orang lain di sekitarnya.
Seperti yang kita ketahui, sampai saat ini merokok masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama. Kontroversi seputar penetapan hukum merokok tak bisa dihindarkan, termasuk dikalangan Ulama NU dan Muhamamdiyah.
Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang hukum merokok menurut Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hukum Merokok Menurut Muhammadiyah, NU, dan MUI
1. Muhammadiyah
Dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhammadiyah karya M Yusuf Amin Nugroho dijelaskan bahwa pada 2005, Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya sempat menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya mubah.
Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret 2010 M yang isinya mengatakan merokok adalah haram.
Dalam amar fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah disebutkan bahwa: Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqashid asy-syariah).
Adapun dalil atau dasar diharamkannya rokok di antaranya bahwa merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khaba’its yang dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran,
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS al-A‘raf: 157).