REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Penghasilan (gaji) sebagai pekerja migran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan di negara sendiri masih menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk bekerja di luar negeri.
Yang menjadi persoalan, besarnya hasrat dan daya tarik untuk bekerja di negara orang ini membuat masyarakat ‘lupa’ bahwa tingkat pendidikan mereka sebenarnya tidak mendukung untuk menjadi pekerja migran.
Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3PMI) Provinsi Jawa Tengah, Pujiono mengungkapkan, rata-rata mereka yang menjadi korban memang tertarik karena iming-iming gaji besar walaupun pendidikannya rendah.
Ia menyebut di negara Korea Selatan (Korsel) untuk pekerja seperti manufaktur atau pekerja di sektor perikanan, gajinya sampai Rp 23 juta jika dirupiahkan (dikurskan dengan mata uang rupiah, red.).
“Kalau di sini dengan pendidikan yang rendah tidak sampai sebesar itu gaji atau penghasilannya,” ungkapnya, di sela konferansi pers pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Mapolda Jateng, Senin (12/6/2023).
Yang menjadi persoalan, jelas Pujiono, di tengah besarnya minat sebagian masyarakat yang ingin menjadi pekerja migran atau bekerja di luar negeri ini ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi tersebut.
Misalnya dengan merekrut dan menjanjikan bisa menyalurkan bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar namun cara-cara yang juga bisa dikatakan ilegal hingga masyarakat menjadi korban TPPO.
Pujiono pun berharap ke depan persoalan-persoalan TPPO ini bisa dicegah dan diungkap melalui kerja sama dan sinergitas yang terjalin. “Baik sinergitas dengan aparat penegak hukum (APH) maupun dengan antar pemangku kepentingan terkait,” tegasnya.
Sementara itu, dalam konferensi pers ini, Satgas TPPO juga mengungkap motif tersangka adalah mendapatkan keuntungan berkedok perekrutan dan penempatan pekerja migran di luar negeri.
Kepala Satgas TPPO Polda Jateng, Brigjen Pol Abiyoso Seno Aji mengungkapkan, para tersangka (perorangan) yang diamankan dalam kasus dugaan TPPO mengaku rata-rata dulunya pernah menjadi pekerja migran.
Kemudian mereka merekrut orang lain di Indonesia untuk ikut bekerja di sana. “Dari beberapa kasus yang diungkap kasusnya adalah mereka yang pernah menjadi anak buah kapal (ABK) asing," ungkap dia.